
Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/eyeglasses-on-an-opened-book-267582/
Tadi malam saya ditelepon Kukuh Priyo Pramono. Mahasiswa saya. Obrolan kami berlangsung hampir dua jam. Tapi saya merasa seperti cuma lima belas menit. Kukuh ini memang enak diajak bicara. Punya nyawa, punya cerita, dan yang paling saya suka punya rasa ingin tumbuh.
Dia sudah lulus. Sudah beberapa waktu yang lalu. Tapi malam itu, dia tidak sekadar mengabari. Dia datang membawa cerita. Cerita kecil, tapi bikin saya mengangguk-angguk sambil tertawa.
Kukuh adalah salah satu dari empat orang “prajurit mapan” di kelas S2 Energi Terbarukan saya. Tiga kawannya: Luqman, Very, dan Dennis, semua orang kerja. Bukan mahasiswa baru lulus. Mereka sudah punya penghasilan, jabatan, bahkan juga anak. Tapi tetap memilih kembali ke bangku kuliah. Di program kami yang hybrid, kuliah daring dan luring, yang muncul karena “anugerah tersembunyi” dari Covid-19.
Tapi Kukuh bukan tipe mahasiswa yang datang untuk sekadar absen. Dia rajin. Patuh. Dan, ini yang paling saya suka. Mau dibimbing. Dalam bidang akademik, mau diajak capek, diajak berpikir, bahkan diajak menulis. Bukan cuma satu dua tulisan. Kukuh sudah punya track record publikasi jurnal ilmiah, dan beberapa buku juga.
Suatu hari, katanya, dia sedang berkumpul dengan teman-teman kantornya. Namanya juga teman kerja, kadang suka iseng. Ada yang nyeletuk:
“Eh, Kuh, kuliah S2 lo itu beneran ada hasilnya gak sih?”
Nada suaranya setengah menggoda, setengah meremehkan.
Kukuh tidak langsung menjawab. Dia cuma tersenyum. Lalu berkata pendek, tapi mantap:
“Coba Googling aja nama gue.”
Temannya yang sedang pegang HP langsung mengetik: Kukuh Priyo Pramono.
Beberapa detik kemudian, layar ponsel itu penuh. Judul-judul artikel ilmiah, tautan jurnal, nama penerbit buku, bahkan berita liputan media.
“Wah gila, ini lo semua, Kuh?”
Temannya terpana. Tak ada lagi kalimat menggoda setelah itu.
Saya mendengar cerita itu dengan bangga yang tak bisa saya sembunyikan.
Kadang, kita menganggap hasil kuliah itu harus selalu ijazah. Atau naik gaji. Atau pindah jabatan. Padahal, ada yang lebih penting: value dalam bentuk lain. Publikasi. Gagasan. Pemikiran. Dan jejak digital yang tak mudah dihapus.
Kukuh sudah membuktikan itu. Bahwa kampus swasta, bukan berarti kualitasnya “kelas dua”. Bahwa kuliah daring, bukan berarti main-main. Dan bahwa belajar, bukan soal usia, tapi soal keinginan untuk bertumbuh.
Saya senang Kukuh menelepon saya malam itu. Tidak semua mantan mahasiswa masih mau menyapa dosennya. Apalagi bicara dua jam.
Tapi saya lebih senang karena saya tidak salah orang. Kukuh adalah salah satu mahasiswa yang benar-benar menyerap. Bukan cuma materi kuliah, tapi juga semangat untuk terus melangkah.
Dan malam itu, saya sadar, mungkin sekarang bukan saya lagi yang membimbing Kukuh.
Justru saya yang sedang belajar darinya.