
Photo: TEMPO
Setelah jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke pihak Malaysia beberapa tahun lalu, kini ancaman serius kehilangan pulau terluar lainnya masih menghantui Indonesia. Sekedar mengingatkan kembali pelajaran SD dulu, Indonesia memiliki 17.506 pulau besar dan kecil. Ada 92 pulau di antaranya terletak di ujung paling luar nusantara dan 12 diantara dalam kondisi tidak terurus. Padahal pulau-pulau terluar itulah yang menjadi salah satu titik ukur teritorial Indonesia dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Namun, seperti apakah konsep yang nyata untuk menjaga keutuhan NKRI dari mengamankan pulau-pulau terluar itu, sepertinya masih belum terpikirkan secara jelas. Pulau-pulau terluar itu justru dianggap sebagai beban, bukan merupakan asset pembangunan. Apa yang dilakukan sampai saat ini tak lebih dari slogan dan himbauan semata yang akhirnya akan terlupakan oleh waktu. Perpres 78/2005 dengan koordinasi 20 pejabat lebih ditujukan untuk kepentingan politik, hukum, dan keamanan, bukan ekonomi. Hal ini terlihat dengan begitu kuatnya peran serta TNI AL dalam menjaga wilayah terluar Indonesia tersebut. Tentu, biaya operasional yang dikeluarkan untuk itu tidaklah sedikit.
Beberapa solusi yang pernah ditawarkan lebih bersifat untuk kepentingan tertentu dan juga tanpa memikirkan pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan. Padahal jika dikaji secara mendalam, pulau-pulau terluar itu mempunyai potensi yang tidak kalah hebat. Potensi itu bisa dalam bentuk kekayaan alam, sumber pertanian dan hasil kelautan, maupun potensi keindahan daratan dan bawah lautnya. Untuk itu, cuma ada satu solusi tapi dengan tiga sasaran, yaitu mewujudkan swasembada pangan dan energi lalu merangkainya dengan pariwisata. Menyadari begitu rumitnya masalah pulau-pulau terluar tersebut, maka sebelum terlalu jauh melangkah, mari disederhanakan dulu permasalahan yang ada. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, anggaplah pulau-pulau tersebut merupakan suatu gugusan kepulauan yang terdiri dari pulau yang lebih besar dan lebih kecil, ada yang berpenduduk maupun tidak berpenduduk, jaraknya yang cukup jauh dari pulau utama, dan sebagainya. Akibatnya, jika pulau tersebut dijaga atau yang sudah dihuni manusia, maka akan cukup sulit dalam hal logistik pangan dan energi. Ini akan menjadi pulau yang berbiaya hidup tinggi tapi sebenarnya miskin. Belum lagi resiko kelaparan dan gelap-gulita akibat terputusnya pasokan pangan dan energi yang disebabkan oleh kendala ketersedian atau kesiapan alat transportasi dan juga faktor gangguan cuaca/alam.
Kedua, perlu direnungkan di sini mengapa Bali saja yang paling dikenal oleh turis mancanegara maupun nusantara, sementara tujuan wisata lain sepertinya tenggelam. Jadi, tidak ada salahnya juga jika dirangkai ke dalam konteks pengembangan pariwisata yang bertujuan untuk mengambil potensi berlibur para turis asing maupun nusantara, meningkatkan pendapatan suatu daerah dari pariwisata, membangun daerah wisata selain Bali yang juga mempunyai keunikan dan kekhasan dari segi budaya dan keindahan alamnya.
Konsep “Green and Cultural Island”
Berdasarkan pertimbangan di atas, konsep mengembangkan pulau-pulau terluar adalah pembangunan yang ditinjau dari segala aspek dengan menggali segala potensi yang ada dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Swasembada energi dan pangan bertujuan untuk lebih menggerakkan perekonomian, disamping itu juga untuk mengurangi biaya hidup dan juga ancaman shortage di pulau tersebut. Paling tidak ini juga untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari daratan utama yang jauh. Tentu saja ini harus dibantu dengan akses pemasaran/penjualan hasil-hasil pertanian dan perikanan agar perekonomiannya semakin berkembang.
Khusus untuk masalah energi, ada dua hal yang perlu diingat. Pertama adalah cadangan minyak bumi hanya tinggal untuk 10 tahun, gas alam untuk 45 tahun, dan batubara untuk 19 tahun lagi (data yang dikeluarkan oleh British Petroleum tahun 2009). Kedua adalah komitmen Indonesia untuk mengatasi pemanasan global dengan target penurunan pemakaian energi fossil periode 2025-2050, sebagaimana yang dijanjikan SBY pada akhir tahun 2009 lalu di Copenhagen. Salah satu solusinya adalah mengembangkan secara bertahap energi terbarukan.
Sumber energi terbarukan di pulau-pulau kecil sebenarnya banyak. Gerakan angin yang tersedia melimpah di sekeliling pulau bisa dikonversi menjadi energi listrik dengan menggunakan Wind Turbine. Begitu juga dengan potensi gelombang air laut beberapa meter dari pinggiran pantai bisa dikonversi juga menjadi energi listrik. Lahan yang kurang produktif bisa dimanfaatkan untuk menanam pohon jarak (Jatropa) dan dioleh biji buahnya menjadi Biodiesel untuk selanjutnya dikonversi menjadi sumber energi listrik atau bahan bakar lainnya. Curah radiasi matahari yang cukup tinggi bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik dengan solar cell atau menghasilkan air panas dengan solar collector, bentuknya pun bisa disesuaikan menjadi atap bangunan. Kelebihan hasil ikanpun bisa dikeringkan dengan cepat dengan memanfaatkan solar drying. Air bersih juga bisa disuling dengan murah dari air laut memakai solar collector.
Pengembangannya harus dibantu dengan teknologi pertanian dan perikanan serta pasokan energi yang sesuai. Untuk pengembangan ilmu dan teknologi ke depannya, pemerintah sebaiknya memberdayakan potensi dari kalangan kampus dan lembaga penelitian yang sudah ada. Boleh dikata, teknologi untuk mengembangkan potensi pulau terluar sudah dikuasai. Sekarang tinggal bagaimana membuktikan tantangannya. Anggap saja nanti proyek pertamanya adalah semacam “pilot project” dengan memberikan “case study” untuk para ahli-ahli Indonesia sendiri. Dari situ bisa dikembangkan ke kawasan pulau-pulau lain.
Selanjutnya, untuk mengembangkan kawasan wisatanya, bisa diminta partisipasi dari pengusaha pariwisata, baik yang dalam negeri maupun luar negeri. Tantangannya adalah bagaimana mereka bisa memanfaatkan segala potensi itu untuk obyek wisata. Pulau-pulau terluar yang paling kecil bisa dijadikan sebagai daerah wisata persinggahan dan tidak harus dihuni. Mungkin bisa dijadikan sebagai tempat konservasi hewan dan tumbuhan. Segala aktifitas ekonomi bisa dioptimalkan pulau utama yang lebih besar. Jika memungkinkan, fasilitas penunjang transportasi untuk pariwisata seperti pelabuhan udara dan laut dibangun di pulau utama. Harus diakui, ini adalah pekerjaan besar dan sulit. Tetapi, itu bukanlah suatu hal yang mustahil diwujudkan jika semua komponen bangsa ini berbuat nyata sesuai kapasitasnya dengan koordinasi yang baik.
Jadi, keunikan sistem pertanian, perikanan dan kawasan energi terbarukan (green energy farm) bisa dijadikan salah satu keunikan untuk dijual sebagai salah satu tujuan turisme di pulau yang dikembangkan itu. Masalah keunikan budaya, bisa digali dan dikembangkan dengan bantuan ahli budaya yang ada. Semuanya bisa dijual dengan label “Eco & Cultural Island” atau “Green & Cultural Island” yang (mungkin) belum terpikirkan konsepnya oleh negara lain. Jadi, dalam hal ini ada beberapa alasan kedatangan turis tersebut, bisa dengan tujuan untuk melihat keindahan kawasan pulau tersebut, melihata keunikan budaya lokal di situ, datang untuk belajar langsung di lokasi Indonesia berhasil membangun kawasan pulau yang mandiri dalam hal pangan dan energi. Walaupun kawasan energi terbarukan dan kawasan pertanian yang tertata rapi bukan merupakan suatu hal yang luar biasa bagi turis Eropa, tetapi bagi turis nusantara dan bahkan Asia lainnya mungkin merupakan suatu pengalaman yang unik dan menarik. Apalagi fauna khusus dan flora khusus dari kawasan itu juga bisa dikembangkan, tentu semakin melengkapi keunikannya.
Peranan Pemda setempat
Dengan segala masalah dan potensi pulau-pulau terluar itu, kalau hanya mengandalkan semua urusan pemberdayaan ke pemerintah pusat, itu artinya sama saja berjalan di tempat. Pemerintah pusat sebaiknya membuatkan koordinasi dan panduan yang jelas. Dalam era otonomi sekarang ini, justru peranan pemda setempatlah yang sangat diharapkan. Untuk itu, ada dua hal yang harus dilakukan oleh Pemda setempat.
Pertama adalah pemda harus merubah mindset dari menganggap pulau terluar sebagai masalah menjadi pulau yang akan mendatangkan berkah. Caranya adalah dengan menggali dan menganalisa data potensi untuk masing-masing pulau secara benar dan terperinci. Pulau itu harus bisa mencakup potensi kekayaan alam, daratan/lautan, potensi sumber energi terbarukan, seperti laju angin, ketinggian ombak, curah matahari, kondisi tanah, dsb. Selanjutnya pemda harus memikirkan konsep yang tepat untuk pembangunan pulau-pulau tersebut. Konsep inilah yang siap dijalankan oleh semua pihak yang akan terlibat dalam pembangunan pulau-pulau tersebut.
Kedua adalah pemda harus memberikanan pemahaman kepada masyarakat untuk pulau-pulau yang sudah berpenghuni agar mereka siap dengan rencana pembangunan tersebut. Mereka juga harus diyakinkan sebagai pelaku utama dalam pembangunan, seperti bekerja di sektor pertanian, perikanan, dan sektor pariwisata. Mereka harus paham bahwa bahwa pentingnya keberadaan mereka di pulau-pulau itu dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Ketiga adalah mencermati atau mengantisipasi berbagai hal: misalnya; rakyat menjual tanahnya ke spekulan padahal warga tersebutlah yang menjadi obyek dari pembangunan itu sendiri, terjadi penambahan penduduk yang tidak selektif karena mengetahui rencana pembangunan tersebut. Jangan sampai kejadian yang dialami pulau Batam terulang kembali. Segala efek negatif harus sudah diantisipasi jauh-jauh hari.
Bagaimana mewujudkannya?
Inilah pertanyaan terakhir yang harus dijawab dengan tegas. Yang jelas, ini adalah pekerjaan serius yang harus digarap dari berbagai disiplin ilmu dan profesi. Pekerjaan ini harus “dikonsepkan dengan benar” dan implementasinya harus dijalankan secara profesional pula. Untuk itu, harus dikerjakan secara manajemen proyek, misalnya dengan bantuan “Integrated Project Management (IPM)”. Artinya, itu haruslah dipimpin oleh seorang Project Manager (PM) yang hebat atau berpengalaman dan mempunyai integritas. Dalam hal ini, semua pihak terkait harus diberikan pelatihan IPM agar segala “deliverables” dari proyek tersebut tercapai atau berjalan sesuai rencana, baik dalam hal biaya, sumber daya manusia, maupun waktu. Mari kita tunggu perkembangannya.