
istockphoto
Mengakhiri tahun kedua masa pemerintahan SBY jilid dua, boleh dibilang masalah energi semakin gawat. Meningkatnya konsumsi BBM, seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan pribadi akibat tidak membaiknya fasilitas transportasi publik, tidak pula diimbangi oleh kinerja BP Migas yang sudah angkat tangan dalam memenuhi target lifting 970.000 BPH (barel per hari). Minimnya eksplorasi migas dalam 10 tahun terakhir akibat iklim investasi yang tidak kondusif, dituding sebagai penyebabnya. Banyak yang lupa kalau minyak adalah energi fosil tidak terbarukan dan sudah memasuki masa penurunan alamiah setelah mencapai puncaknya tahun 1991 sebesar 1.669.000 BPH. Ritual tahunan mudik Lebaran yang semakin meningkat dengan kendaraan pribadi roda empat maupun dua, tidak mau ketinggalan untuk menyedot BBM bersubsidi tersebut. Kuota BBM bersubsidi lebih cepat habis dari yang dialokasikan karena terlalu lamanya pertimbangan dan keragu-raguan untuk menaikkan harganya.
Ketakutan yang sama juga terjadi dalam rencana menaikkan TDL di 2011 ini, padahal itu sudah direncanakan sewaktu mengumumkan TDL awal Juli 2010 lalu. Untuk mengantisipasi tidak semakin memberatnya beban subsidi listrik yang ditanggung pemerintah dan kenaikan harga yang ditanggung masyarakat, PLN lagi berusaha mengurangi biaya pokok produksi (BPP) dengan menekan konsumsi minyak dan menggantinya ke gas. Sayangnya, jaminan pasokan gas dari dalam negeri yang tidak jelas, ”road show” pembelian gas negara lain terpaksa dilakukan. Semoga juga terpikirkan nasib rakyat kecil di perbatasan dan daerah terisolir untuk mendapat akses listrik, daripada menyerahkan nasib mereka dibantu pihak asing.
Jika keluhan Pertamina yang menyatakan rugi menjual LPG 12 kg dengan harga yang di bawah biaya operasional saat ini, maka lengkaplah sudah beban subsidi energi yang akan ditanggung pemerintah.
Jadi, kalau masih subsidi, maka jangan berbicara mengenai kepedulian energi. Apalagi peduli dengan nasib anak-cucu kelak, setelah minyak, batubara, dan gas yang akan habis dalam waktu 11, 18, dan 37 tahun lagi, jika mengacu ke data yang dikeluarkan oleh British Petroleum tahun 2011.
Antara Subsidi dan Inflasi
Tidak pernah tuntasnya penyelesaian masalah klasik dan munculnya berbagai masalah energi yang baru, mengesankan silih-bergantinya pemerintahan bangsa ini tanpa kesinambungan visi energi yang jelas. Ini tercermin dari ketidak-fokusan dan ketidak-seriusan serta lemahnya koordinasi dan sinergi, baik vertikal maupun horizontal di pemerintahan.
Saling menunjukkan ego kekuatan ekonomi dan politik sebenarnya tidaklah ada gunanya. Dalam era persaingan global sekarang ini, mestinya semua pihak sadar untuk sama-sama melakukan pembenahan, termasuk masalah energi. Pengurangan subsidi hanyalah masalah waktu dan tanpa harus menunggu. Apa yang dilakukan PLN dalam mengantisipasi pengurangan subsidi listrik patut diapresiasi dan dicontoh, lebih mantap lagi jika pemerintah merespons kreatifitasnya dengan memperbaiki jaminan pasokan gasnya. Semoga efisiensi juga terjadi di Pertamina dan tercapainya target di BP Migas. Jika tidak, mau sampai kapankah Indonesia mampu bertahan memanjakan rakyatnya dengan model subsidi begini?
Memang patut dipertimbangkan pendapat para ekonom efek dari penghapusan subsidi terhadap inflasi, tetapi janganlah hanya bertumpu pada angka-angka finansial semata, yang menjadi momok setiap melakukan perubahan. Mari lihat masalah energi dari sudut solusi jangka panjang dengan potensi ekonomi hebat yang dimilikinya, jika digarap dengan serius! Itulah yang harus dikejar bersama dengan tindakan nyata yang lebih masuk akal dan terukur.
Efisiensi dan Industrialisasi Energi
Ada dua tantangan di sini.
Pertama, menciptakan budaya hemat energi atau efisiensi energi. Pemerintah harus menjadi yang terdepan dalam setiap gerakan ini. Semua pihak sebenarnya mudah untuk diajak bekerjasama, jika memang pemerintah tahu caranya dan memahami masalahnya. Budaya hemat energi tersebut akan muncul jika ada sistem yang diciptakan pemerintah dan dikawal dengan serius agar banyak pihak yang berubah. Bukan mencari keuntungan semata, tetapi PLN dan Pertamina pun harus mampu mendidik pelanggannya untuk melakukan penghematan. Cara persuasif dan edukatif yang berkesinambungan harus dilakukan agar penghematan energi menjadi suatu budaya. Selain itu, Direktorat Jenderal energi baru, terbarukan dan konservasi energi di ESDM, kinerjanya dalam program efisiensi energi perlu dikebut, kemampuan MESDM pun semakin dituntut.
Kedua, menciptakan peluang industrialisasi energi. Maksudnya, bagaimana mewujudkan aspek-aspek bisnis dan penyediaan lapangan kerja dari pengembangan industri berbasis energi. Kita mempunyai pasar yang besar dan kita tidak pernah kekurangan orang-orang pintar. Dengan menyadari potensi industri energi negara kita yang sangat luar biasa, seharusnya itu bisa digunakan sebagai daya tawar-menawar yang kuat dengan pemilik teknologi maupun modal. Jika tidak, maka orang lain yang akan mengambil untung dari negara ini.
Visi Energi SBY dan Menterinya
Terbentuknya budaya efisiensi energi dan diraihnya peluang industrialisasi energi, tergantung dari ada tidaknya visi bangsa ini ke arah situ. Jika ada, visi itu harus mampu diterjemahkan ke semua level menjadi strategi dan tindakan nyata. Presiden sebagai ”top executive” harus memahami bagaimana menggelindingkannya. Sayangnya, apa yang diharapkan itu masih kabur sampai sekarang. Mungkin penyebabnya adalah adanya ketidak-yakinan, ketidak-pahaman, ketidak-seriusan, ketidak-fokusan, ataupun ketidak-sensitifan dengan masalah energi.
Hal inilah yang mengakibatkan tidak adanya koordinasi dan sinergi antar menteri untuk memikirkan ke arah situ. Semuanya terkesan berjalan sendiri-sendiri. Boleh dibilang, apa yang mereka lakukan sekarang lebih fokus kepada amannya pekerjaan mereka sekarang juga, bukan untuk memikirkan hari esok anak-cucunya kelak. Padahal, yang dibutuhkan sebenarnya dari mereka saat ini adalah bagaimana membuat Indonesia aman dari masalah energi dan sedapat mungkin juga mampu menjadikan energi sebagai salah satu sektor yang mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi. Tentu, untuk mencapainya haruslah dikeroyok ramai-ramai. Artinya, koordinasi dan sinergi di pemerintahan harus lebih digenjot. Sekali lagi, kata kuncinya efisiensi energi dan industrialisasi energi, baik energi fosil maupun energi terbarukan.
Jika ada menteri yang tidak mampu, sebaiknya dengan legawa mengundurkan agar jurus ”gertakan reshuffle” tidak perlu lagi dimainkan. Biarlah SBY dengan tenang mengevaluasi dan mengganti menterinya dengan yang lebih professional, mempunyai kemampuan teknis dan manajerial yang handal. Tetapi, sebelum mengevaluasi mereka, SBY harus mengevaluasi visi energinya sendiri terlebih dahulu. Sekalian juga, mengevaluasi pikirannya agar tidak lagi berharap meraih ”citra” dengan mengandalkan subsidi, jika tidak mau dianggap tidak punya visi dan tidak percaya diri, tetapi harus membuktikannya dengan visi energi.
Penulis: Erkata Yandri, periset pada Solar Energy Research Group, Dept. Vehicle System Engineering, Faculty of Creative Engineering, Kanagawa Institute of Technology – Japan.
https://koran.tempo.co/read/opini/248620/meraih-citra-dengan-visi-energi