
merdeka.com
Indonesia geram lagi dengan Malaysia. Ini gara-gara Research in Motion (RIM), produsen handphone pintar Black Berry (BB) asal Kanada dan BOSCH, produsen panel surya atau photovoltaic (PV) asal Jerman, mendirikan basis produksi di negeri jiran tersebut. Indonesia beranggapan bahwa Malaysia mampu merayu kedua perusahaan tersebut dengan memanfaatkan peluang pasar Indonesia yang besar. Akibatnya, Indonesia mengancam kedua perusahaan tersebut dengan disinsentif jika produknya memasuki pasar Indonesia.
Kejadian emosi seperti ini sudah hal yang biasa setiap ada kemajuan Malaysia yang menyerempet ke Indonesia. Apakah Malaysia tidak mempunyai etika dalam menarik investor dengan ”menjual” pasar negara tetanga, ataukah Indonesia yang tidak tahu bagaimana caranya menarik investor?
Evaluasi Diri
Sebelum menuduh terlalu jauh atau sebelum dibilang ”syirik tanda tak mampu”, mungkin lebih baik menganalisa terlebih dahulu mengapa kedua perusahaan tersebut bercokol di Malaysia.
Bagi RIM, alasannya mungkin sederhana sekali. Malaysia sudah lama dikenal sukses mengembangkan industri berbasis elektronik, lengkap dengan segala industri pendukungnya. Dengan kebutuhan bahan baku yang lebih banyak tersedia di Malaysia, maka proses pengadaan akan menjadi lebih cepat. Pusing kepala dalam masalah ekspor impor pun bisa dikurangi. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa SONY mantap memindahkan pabriknya dari Cikarang/Indonesia ke Malaysia, disamping beratnya masalah lain seperti perburuhan, energi, birokrasi, dsb. Paling tidak, waktu dan biaya produksi bisa dihemat.
Khusus untuk BOSCH, sebenarnya ini ada hubungannya dengan kemajuan Malaysia dalam hal kebijakan dan aplikasi energi terbarukan, misalnya untuk bangunan yang terintegrasi dengan panel surya (Building Integrated Photovoltaic, BIPV). Kemungkinannya, BOSCH tertarik dengan Malaysia karena iklim dan kebijakan energi terbarukan (ET) sudah lebih terlihat jelas di Malaysia. Buktinya, Malaysia sudah membangun kawasan dan gedung-gedung pemerintahan dan bisnis dengan konsep ”green” yang memakai panel surya sebagai salah satu penghasil energi listrik.
Sebenarnya, masih banyak faktor lain yang menyebabkan kedua perusahaan tersebut memilih Malaysia. Diakui saja, Indonesia sudah kalah beberapa langkah dari Malaysia. Yang jelas, Indonesia tidak bisa menutup mata dengan buruknya infrastruktur, kekuatan buruh yang lebih bergejolak, birokrasi yang tidak efisien dan membingungkan, dan berbagai faktor lainnya.
Strategi ke depan
Indonesia seharusnya bersyukur telah dibangunkan oleh RIM dan BOSCH. Jika Indonesia tidak ingin kecolongan lebih banyak lagi, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Pertama, jangan terlena dengan potensi pasar yang besar itu kalau tidak ada yang punya uang untuk membeli. Begitu juga dengan tidak lagi menggembar-gemborkan kekayaan alam yang ada saat ini karena itu akan habis dalam waktu singkat, jika eksplorasinya mentok. Indonesia haruslah melakukan introspeksi diri dengan memikirkan strategi ke depannya. Jika tetap ingin bersaing di kancah global, maka daya saing lain harus dikembangkan. Tentulah dengan menyadari potensi dan iklim pasar, memikirkan teknologi yang sudah dikuasai, menghitung ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam, memikirkan mata rantai industri yang efisien, memperbaiki kebijakan energi yang berwawasan lingkungan.
Potensi ini harus dihitung jelas agar percaya diri tawar-menawar dengan investor. Teknologi dan modal akan datang dengan sendirinya jika Indonesia mampu membuat atau merangsang mereka datang. Sedapat mungkin carilah partner yang mau menempatkan Indonesia sebagai basis penelitian produknya. Investor tidak hanya dua perusahaan itu, masih banyak yang lain yang besar-besar yang dijadikan target, termasuk lokal. Tantangan bagi pemerintah jika mampu mengangkat kekuatan lokal menjadi global.
Kedua, mengembangkan visi yang berlanjut ke aksi-implementasi pembangunan. Aspek pijakannya adalah ”efisien, green, dan human” yang diterjemahkan menjadi tiga hal. Pertama, infrastruktur, meliputi pembangunan fasilitas jalan, industrial estate, energi, dsb.
Kedua, program efisiensi dan produktifitas nasional, meliputi pembentukan budaya kerja yang berkinerja yang juga dengan birokrasi yang efektif dan efisien. Ketiga, ”green politics” dengan pengembangan industri hijau seperti industri ET atau industri berwawasan lingkungan lainnya. Jika Indonesia ingin menjadi basis pertumbuhan industri ET, maka harus bersegera membuat kebijakan energi yang mendukung ke aplikasi ET. Tentu harus konsisten pula dengan cetak biru dan road map energi yang sudah dibuat. Disamping harus lebih menjual dalam hal ”lebih hijau” dan ”lebih murah”, maka tidak lepas juga dari pembangunan manusia yang memperhatikan aspek kesejahteraannya. Jangan sampai mengejar kesejahteraan tetapi tidak manusiawi.
Jadi, intinya adalah bagaimana Indonesia bisa menyiapkan segala infrastruktur pendukung dan agar Indonesia lebih menarik secara investasi dan pasar tanpa harus mengemis dan didikte mereka. Kalau perlu, mereka yang didikte untuk juga mendirikan basis R&D di Indonesia. Artinya, Indonesia dijadikan sebagai tempat investasi dan partner untuk tumbuh, bukan untuk merakit semata. Untuk itu, Indonesia harus mempunyai mimpi besar dengan disain yang komprehensif.
Momentum Reshuffle
SBY harusnya lebih sensitif melihat masalah ini dan menata kembali formasi menterinya. Jangan membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri dan malah saling berantam, seperti kasus garam antara MenKP dengan Menperin, kasus BlackBerry antara Meninvest dengan Menkoninfo, dan terakhir Menperin dengan Mendag. Tujuannya agar investasi meningkat dengan usaha yang dirancang bersama. Masalah besar KIB II adalah koordinasi dan sinergi yang payah dengan pola ”single fighter”. Kesimpulannya, mereka masih belum merasa berada dalam satu kapal.
Mumpung masih dalam wacana reshuffle, SBY jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bukan saatnya lagi berbicara keseimbangan kekuasaan, tetapi haruslah keseimbangan perekonomian. Moment reshuffle bukan saja tentang pergantian atau perputaran menteri, tetapi bagaimana memberdayakan tim.
Sekarang, SBY harus mampu membangkitkan nasionalisme timnya dengan sinergi visi dan perbuatan nyata, bukan dengan iri ke negara tetangga. RIM dan BOSCH sudah memicu, momentun reshuffle pun menunggu, dan SBY janganlah engkau ragu-ragu!
Penulis: Erkata Yandri, periset pada Solar Energy Research Group, Dept. Vehicle System Engineering, Faculty of Creative Engineering, Kanagawa Institute of Technology – Japan.