
Photo by Element5 Digital on <a href="https://www.pexels.com/photo/selective-focus-photography-of-bookshelf-with-books-1370296/" rel="nofollow">Pexels.com</a>
41 Sekolah SMA! (Tulisan kedua/terakhir mengenai seleksi masuk SMA)
Pada saat prosesi wisuda di sekolahnya Karif tanggal 9 Maret yang lalu diumumkan bahwa 112 lulusannya akan melanjutkan ke 41 sekolah, luar biasa banyak!
Kenapa bisa? Karena mereka bebas memilih dan tidak ada sistem zonasi! Setiap siswa boleh memilih sesuai pilihan masing-masing asal ketrima. Jadi tidak ada juga yang namanya fenomena ‘bedol desa’ yang biasanya terjadi di negeri tercinta seperti dulu sewaktu lulus SMP di Klaten, dari 300-an siswa lanjut ke sekitar 5-10 SMA atau Istri dari SMP Jakbar lulusannya biasanya melanjutkan ke 10-15 sekolah SMA saja.
Periode awal-awal pendaftaran (pertengahan sd akhir 2021) kalo kita ‘merasa kekurangan’ informasi atau kurang yakin kadang-kadang kami menyuruh Karif untuk ngobrol dan bertanya ke temen-temennya berharap banyak temannya mendaftar ke SMA yang sama karena berasumsi ada ‘bedol desa’. Ternyata ini keliru, sebuah pembelajaran penting untuk mengatur strategi mempersiapkan Keiko chan yang segera akan mengikuti proses yang sama karena akan masuk kelas 3 SMP mulai bulan April.
41 sekolah tersebut merata di sekolah Negeri (public) dan Swasta meliputi sekolah umum, sekolah kejuruan (bidang industry, pertanian dan commercial) dan bahkan ada yang masuk sekolah militer. Ada yang pindah antar kota antar prefecture (AKAP); AKDP (antar kota dalam prefecture) dan ada juga yang dalam kota. Pendataan alumni juga bisa dilaksanakan dengan akurat karena penerimaan SMA Negeri dilakukan sebelum acara wisuda (1 Maret, 1 minggu sebelum wisuda). Setelah menerima pengumuman, siswa menyerahkan surat bukti penerimaan beserta skor ujian SMA kepada walikelas.
Bagi yang tidak diterima disekolah negeri dan yang sejak awal sudah memutuskan masuk sekolah swasta juga sudah menyerahkan infonya kepada walikelas karena pengumuman penerimaan SMA swasta dilakukan lebih awal (February). Jadi per tanggal 1 maret setiap walikelas sudah punya data lengkap alumni dan sekolah lanjutannya.
Sistem seleksi yang sangat komprehensif juga mendukung pemilihan sekolah, beberapa hal yang menjadi catatan penting sebagai berikut:a. Pertama, minimal menggunakan 3 komponen akademik yaitu nilai raport (kelas 2 dan kelas 3); Ujian tertulis serentak didalam satu prefecture dan ujian wawancara thd calon siswa di masing-masing sekolah. Ada beberapa SMA menambah ujian khusus sehingga total ada 4 komponen.
b. Kedua, variasi pembobotan untuk ketiga/keempat komponen tersebut. Ada yang pake pembobotan 4:4:2 untuk nilai raport-ujian tertulis dan test wawancara, ada juga yang pake pola 3:5:2. Pola lain diterapkan untuk SMA yang pake 4 komponen. c. Ketiga, ada lima (5) dari 9 mata pelajaran di SMP yang digunakan untuk seleksi masuk SMA yaitu: Matematika, IPA (Science), IPS (Social Studies); Bahasa Jepang (termasuk sejarah) dan Bahasa Inggris.
Ada sekolah yang memakai pembobotan merata untuk kelima mata pelajaran tetapi ada juga yang memakai pembobotan tidak merata. Contoh: ada sekolah yang memberi bobot 1.2 untuk nilai matematika, IPA dan Bahasa Inggris. Ada juga yang memberi bobot lebih tinggi untuk pelajaran IPS, Bahasa Inggris dan Matematika. Semua disesuikan dengan arah pendidikan di masing-masing sekolah.
Penggunaan berbagai komponen, pembobotan komponen dan pembobotan nilai mata pelajaran yang detil sangat membantu memaksimalkan potensi siswa. Contoh, pembobotan 4:4:2 sangat cocok untuk anak-anak yang punya nilai rata-rata harian tinggi tapi biasanya suka nervouse kalo ujian (nilai ujian biasa-biasa saja atau jeblok). Pembobotan 3:5:2 sangat menguntungkan untuk anak-anak tipe senang ujian (sering dapet nilai bagus pas ujian tapi nilai harian rata-rata biasa saja). Pembobotan berbeda untuk beberapa mata pelajaran menguntungkan buat anak-anak yang berbakat pada mata pelajaran tertentu (tipe specialist).
Sedangkan pembobotan merata menguntungkan buat anak-anak yang pintar merata (tipe generalis). Dengan sistem ini, perhitungan skor akhir dari satu raport atau suatu nilai test tertulis bisa berbeda-beda tergantung pola dan formula perhitungan yang dipake disekolah tersebut. Anak-anak yang aktif di organisasi (osis), klub ekskul atau prestasi luar sekolah juga bisa memaksimalkan point dari test wawancara langsung kepada tiap calon siswa karena sekolah SMA juga mengharapkan ‘kontribusi’ diluar akademik.
Sistem PembelajaranSistem pembelajaran di sekolah secara umum terdiri dari sistem kelas dan sistem SKS. Dengan sistem SKS, memungkinkan siswa dari IPA belajar matapelajaran IPS dan sebaliknya, sehingga biasanya disebut SLTA comprehensive. Di beberapa sekolah swasta yang menggunakan sistem kelas selanjutnya ada yang dibagi beberapa course sesuai dengan kemampuan siswa (advance dan regular).
Ada sekolah yang menerapkan sistem course tetap (sekali masuk dan tidak berubah sampai lulus), tapi ada juga yang pake sistem dinamis (bisa pindah course tergantung prestasi siswa). Ada juga sekolah swasta yang memperbolehkan mendaftar course rendah (bagi yang nilai raportnya pas-pasan) supaya bisa diterima disekolah tersebut kemudian mengikuti test tambahan untuk pindah course yang lebih tinggi.
Jadi walaupun pendaftaran SMA swasta sangat ketat screening nilai raport (kadang dilarang daftar apabila tidak memenuhi persyaratan), adanya pilihan course menyebabkan rasio pendaftar vs daya tampung bisa sampai 5:1 atau bahkan ada yang 9:1.
Satu hal lagi yang menarik dari SMA negeri di jepang adalah adanya sistem part-time yang memungkinkan siswa yang punya kendala ekonomi tetapi bisa menjalankan sekolah sambil kerja sambilan atau part-time. Beberapa SMA negeri membuka full course (lulus 3 tahun dengan maksimal 6 tahun bagi yang sering tidak naik kelas) dan part-time course (belajar sore hari sekitar 4 jam, lulus 4 tahun dan maksimal 6 tahun bagi yang sering tidak naik kelas).
Siswa bisa bekerja dipagi hari dan dilanjutkan sekolah pada sore dan malam hari dan lulus setelah 4 tahun sekolah, sehingga bisa mencegah putus sekolah. Di negara kita mungkin sudah banyak program beasiswa sekolah untuk melanjutkan pendidikan SMA, tetapi kalo kendala utama adalah masalah ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mau nggak mau harus bekerja, dengan sistem part-time di beberapa sekolah negeri memungkinkan untuk bekerja sambil sekolah, mengurangi angka putus sekolah dan mengurangi jumlah angkatan kerja yang lulusan SMP atau sederajat. Mungkin bisa dipertimbangkan tapi yang pasti beban sma tersebut akan makin berat karena sekolah harus buka minimal sampai jam 21:00 setiap hari.
Memilih Sekolah.Pertimbangan lain yang biasa digunakan untuk memilih sekolah adalah:
a. Sekolah swasta biasanya mendorong/melakukan treatment kepada siswa agar berkembang dan siap memasuki jenjang pendidikan selanjutnya secara terorganisir misalnya dengan membuat sistem advance & regular course. Sedangkan di sekolah negeri, usaha tersebut diserahkan kepada masing-masing individu siswa, tidak ada upaya kolektif yang massif, terstruktur dan terencana dari pihak sekolah.
b. SMA negeri secara umum lebih memberi kebebasan (tidak mengatur/memaksa) mengenai perilaku sehari-hari (atau tidak mengatur detilnya). Ada beberapa sekolah negeri, termasuk yang favorit misalnya boleh memakai anting (buat murid putra dan putri), mengecat rambut dll. Beberapa hal tidak diatur secara specific dan diserahkan kembali kepada masing-masing individu. Sedangkan SMA swasta secara umum lebih ketat dalam mengatur perilaku muridnya, mulai dari agak ketat sampai dengan ketat banget.
c. Accessibilitas ke sekolah juga penting karena ada sekolah yang mengijinkan siswanya untuk naik sepeda, ada juga yang hanya memperbolehkan menggunakan sarana transportasi publik (bus dan kereta) dan berjalan kaki.
BimBel
Karena kompleksitasnya dan kebetulan kita bukan orang yang tau seluk beluk sekolah disini, selain berkonsultasi secara umum dengan walikelas SMP, kita juga melakukan diskusi dan meminta pandangan dari bimbingan Belajar. Banyak bimbingan belajar yang membantu siswa mempersiapkan diri mengikuti seleksi masuk sekolah SMA.
Karif mulai memutuskan ikutan bimbel setelah selesai kegiatan ekskul di SMP resmi berakhir yaitu caturwulan terakhir kelas 3 atau kira-kira sejak November 2021. Ada bimbel model kelas dan model grup-grup kecil semacam private les dengan 3-4 orang setiap grup. Kebetulan Karif memilih mengikuti bimbel yang sistem private dan nggak jauh dari rumah, hanya sekitar 1.5 km (bisa naik sepeda).
Sejak awal kami memposisikan bimbel sebagai partner untuk diskusi terutama dalam menentukan pilihan sekolah. Kalo mau diskusi dengan guru SMP sebenarnya bisa saja tapi kesempatan untuk diskusi private dengan walikelas cukup terbatas dan sungkan juga kalo keseringan nanya-nanya ke guru SMP. Beberapa hal yang kami diskusikan dengan bimbel seperti:
a. Membuat perbandingan pilihan antar sekolah. Contohnya, pilihan antara mengambil regular course disekolah yang rada tinggi gradenya vs menjadi murid unggulan (ambil advance course) disekolah yang gradenya sedikit dibawahnya; menimbang pilihan aman vs pilihan menantang (contohnya: memilih sekolah dengan memaksimalkan nilai raport vs memilih sekolah yang memberi bobot lebih untuk test tertulis), dll.
b. Kedua, misalnya meminta pandangan bagaimana karakter umum dan ‘pergaulan’ murid-murid SMA di sekolah-sekolah yang menjadi target. Co-benefit lain ikutan bimbel adalah membiasakan diri untuk latihan test/try out sehingga siap menghadapi ujian tertulis. Bimbel juga melatih siswa menghadapi test wawancara, bahkan latihan test wawancara dilakukan hingga H-1 tepatnya setelah Karif mengikuti test tertulis tanggal 15 February. Menurut infonya Karif, sekitar 70-80% pertanyaan saat wawancara sudah dilatih di bimbel.
Demikian catatan perjalanan mengikuti program penerimaan murid SMA di jepang yang berlangsung cukup panjang, mulai dari bulan Juni 2021 sd Maret 2022. Beberapa bulan lagi Insha Allah mengulangi proses yang sama karena Keiko mulai masuk kelas 3 SMP mulai bulan depan. Akan diupdate lagi kalo ada catatan tambahan.
Penulis: Dr. Sudarmanto Budi Nugroho, seorang peneliti di IGES, Jepang. Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis dalam menyekolahkan anak di sebuah sekolah di Jepang. Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di account Facebook penulis.