Tidak bisa dipungkiri lagi, masalah energi adalah ”hot topic” bagi pemerintah. Kebijakan subsidi energi yang dianut saat ini sudah sangat membebani keuangan negara. Tahun lalu, subsidi energi sudah menembus angka fantastis 250T, dengan 160T khusus untuk BBM saja. Menyadari bahwa skenario menaikkan TDL dan harga BBM sangat sensitif, maka SBY pun melirik opsi lain dengan mengajak rakyatnya untuk menghemat energi. Hal itu diungkapkannya pada peresmian 3 proyek PLTU di penghujung tahun 2011 lalu.
Mungkin ajakan SBY itu ada hubungannya dengan sosialisasi Inpres No.13/2011 tentang penghematan energi, yang tujuan sebenarnya diarahkan untuk internal instansi pemerintah. Prosedur dan mekanismenya disusun oleh staffnya MESDM. Jika sukses nantinya, akan diajarkan ke masyarakat luas. Sebelumnya sudah pernah ada juga Inpres serupa, yaitu No.10/2005 dan No.2/2008.
Belum lama ini, Dirjen Anggaran Depkeu menginformasikan bahwa tahun lalu tercapai penghematan listrik dan air 7-10 persen, setara 12-14T. Walaupun pencapaian itu mungkin disebabkan oleh efek kejut tanpa adanya jaminan kesinambungan, tetapi layaklah diapresiasi. Inpres hanyalah sekedar tugas atau beban. Namun, fakta dikeluarkannya 3 Inpres penghematan energi per 3 tahunan, mengindikasikan bahwa belum terciptanya budaya penghematan energi. Mengapa?
Miskin Contoh dan Fokus
Paling tidak ada 2 penyebab mengapa belum tercipta budaya penghematan energi.
Pertama, miskin contoh dari sang pemimpin bagaimana sebenarnya bentuk kepedulian dalam penghematan energi. Bukanlah bermaksud lebih ke pribadi SBY, tetapi lihatlah dari rutinitas yang dilakukan SBY setiap hari pergi pulang-kerja dan pemborosan energi yang terjadi. Mari berhitung! Informasinya, ada 10 mobil patwal menempuh jarak sekitar 120 km dari Cikeas-Istana-Cikeas. Anggap saja seliter BBM untuk 10 km, maka seharinya menghabiskan 120 liter, atau sebulan (20 hari kerja) 2.400 liter BBM. Belum lagi BBM yang terbakar hanya karena orang lain harus berhenti menunggu rombongan lewat. Tidakkah terpikir “rutinitas” harian ini suatu pemborosan energi?
Berikutnya, hajatan pesta pernikahan anak SBY dan besannya HR di Istana Cipanas beberapa bulan lalu. Ayo dihitung lagi! Perkiraannya 10.000 orang tamu yang hadir waktu itu. Anggaplah 2 orang perkendaraan, maka ada sekitar 5.000 mobil. Jarak tempuh setiap mobil rata-rata 90 km jika monas titik pusatnya, maka sudah terbakar 90.000 liter BBM. Belum termasuk kendaraan lain yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan tersebut, tetapi harus memutar akibat akses normalnya ditutup alasan keamanan dan kenyamanan pesta, dan juga BBM yang dibakar oleh TNI dan Polri dalam menggelar pasukannya. Tidakkah terpikir bahwa ini adalah suatu pesta yang boros energi?
Kedua, miskin fokus bagaimana mengefisienkan energi nasional. Fakta membuktikan, buruknya perilaku ketidak-pedulian energi disebabkan oleh buruknya kontrol, sedangkan buruknya control disebabkan pula oleh buruknya sistem. Jadi, tanpa sistem jangan berharap birokrat, korporat, dan rakyat diajak serius untuk melakukan penghematan energi. Semua terefleksi sampai ke bawah.
Fenomena angkot di berbagai kota sekarang ini cenderung sepi penumpang karena banyak yang beralih ke sepeda motor. Angkot yang terlalu banyak, menyebabkan penumpukan di terminal atau mengetem di perempatan jalan. Inilah penyebab kemacetan dan energi terbakar secara percuma. Apakah kepedulian energi pada transportasi sudah menjadi fokus dan prioritas Pemda-pemda?
Bukannya anti dengan mall, yang dipercaya salah satu penggerak perekonomian sehingga perijinannya dipermudah walaupun persaingannya ketat, tetapi cobalah dipikirkan secara jernih efek dari mall tersebut. Mall sudah membuat sesuatu tidak efisien. Mall sudah menjadi gaya hidup yang merangsang orang datang untuk sesuatu yang mungkin tidak begitu penting. Mall menyebabkan penumpukan kendaraan di sekitarnya yang memicu kemacetan. Apakah pemda dan pebisnis sudah mempertimbangkan aspek efisiensi energi keberadaan mall secara keselurahan?
Begitu juga dengan disain perumahan yang tidak menyesuaikan dengan lingkungan tropis. Rumah-rumah di Indonesia lebih mengutamana kegagahan, bukan fungsinya. Akibatnya, alat pendingin yang menyedot begitu banyak listrik menjadi andalan, belum lagi kebutuhan alat-alat rumah tangga lainnya yang serba listrik. Tidak salah jika PLN mengkritik pemberian subsidi listrik untuk rumah mewah. Apakah kepedulian energi sudah menjadi fokus dan prioritas pemilik rumah dan arsiteknya?
Pemimpin tidak cukup hanya bermodalkan keputusan atau ajakan semata dalam membudayakan penghematan energi. Tetapi, diperlukan contoh yang nyata, spontan, serius, antusias dalam mengkampanyekannya. Kalau tidak ada contoh dan tindak-lanjut yang terkonsep jelas, maka jangan berharap penghematan energi akan tercapai, apalagi sampai menjadi suatu budaya sampai ke daerah.
Berbuatlah!
Masalah penghematan energi bukanlah kegiatan yang asal jadi semata, tetapi harus sesuatu yang ada hasilnya. Bukan penghematan saja, tetapi harus ada perubahan perilaku yang membudayakan penghematan energi. Untuk mencapai ke arah situ, maka paling tidak ada 3 hal yang harus dilakukan.
Pertama, presiden dan segenap pejabat publik lainnya harus memberikan contoh perilaku penghematan energi. Mencontohkan adalah salah satu bentuk sosialisasi yang cukup efektif. Di setiap kesempatan dan waktu, harus ditunjukkan secara konsisten. Tujuannya agar rakyat percaya bahwa penghematan energi adalah masalah serius, sehingga presiden berusaha menjadikannya sebagai budaya dari pribadinya sendiri. Salah satu buktinya, segeralah SBY pindah ke Istana Negara. Paling tidak, di depan mata sudah menunggu penghematan nyata 2.400 liter BBM sebulan.
Kedua, pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong efisiensi di segenap aktifitas kehidupan dan perekonomian. Penghematan energi tidak cukup hanya berbekal Inpres, tetapi haruslah terkonsep dan tersistem, melalui program pelatihan, sinkronisasi goal semua lini baik pusat-daerah, audit, dan evaluasi dengan tim yang solid. Segala indikator penghematan energi harus jelas dan disampaikan ke publik secara berkala. Intinya, harus ada rasa memiliki (ownership).
Ketiga, pemerintah harus berani mengambil langkah revolusioner untuk mendapatkan hasil “instant” tanpa harus keluar banyak biaya dengan cara merubah pola (method change) ataupun merubah tata letak (re-layout) dari suatu permasalahan. Cobalah fokus pada simpul-simpul kemacetan, jam operasional pusat komersial, bisa dibereskan dengan kedua cari itu. Inilah yang harus segera dikaji dengan teliti. Lebih baik mengorbankan kenyamanan beberapa waktu demi penghematan, dari pada membiarkan pemborosan terus terjadi di depan mata karena tidak berani berbuat.
Jika pemerintah masih juga punya hobby mengeluarkan Inpres, maka arahkanlah ke sektor transportasi, perumahan, dan industri agar memakai dan menghasilkan produk yang efisien energinya. Saatnya mall dan rumah mewah menanggung sebagian kebutuhan energinya dari energi terbarukan. Ini tidak saja mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan energi, tetapi juga akan merangsang tumbuhnya industrialisasi energi terbarukan yang membuka lapangan kerja untuk negara ini. Bukan negara lain!
Terlepas bersubsidi atau tidak, langkah penghematan energi adalah suatu keharusan. Jika memang ingin mendidik bangsa ini lebih peduli dengan energi, maka lakukanlah program penghematan dengan konsep dan sistem yang jelas. Cukuplah sudah dengan 3 Inpres itu, lalu “didiklah” masyarakat. Tetapi, janganlah “setengah-setengah” atau “asal ada” saja. Tidak ada yang sulit, jika kita mau membuktikan!
https://koran.tempo.co/read/opini/266258/sulitkah-membudayakan-hemat-energi