Tiba-tiba teman saya yang jurnalis itu kirim “WApri”. Dia kirim beberapa screenshoot artikel. Topik utama dari Majalah Tempo yang terbit pada Edisi 30 Januari 2021. Judulnya, “Wajah Kusam Kampus”. Cover depannya sosok manusia berwajah tikus, mengenakan toga, pakaian kebesaran guru besar.
Chatnya teman saya itu begini, “Apa tidak tertarik menulis opini tentang ini?”. Jiwa jurnalismenya melihat ini merupakan topik yang bagus untuk sebuah tulisan opini. Dia bujuk saya untuk menerimanya. Tujuannya bukan untuk menyerang rekan se-profesi. Dosen atau peneliti. Jadi, tidak usah kawatir, katanya. Anggap saja ini sebagai suatu pencerahan bagi masyarakat awam.
Tampaknya dia belum puas dari diskusi kami sehari sebelumnya. Di situ nimbrung si “bu prof”; “pak dirut” yang punya kafe itu dan dulunya sempat jadi dosen tidak tetap di beberapa kampus di Padang; dan juga ada teman yang punya pabrik bahan bangunan di Tangsel itu. Oh ya, nama grup kami “chiex thiego”.
Kedua kata itu sebenarnya keren-kerenan dari Bahasa Minang supaya terlihat seperti Bahasa Inggris. Kata “chiex” maksudnya “ciek” yang artinya “satu”. Sedangkan “thiego” maksudnya “tigo” yang artinya “tiga”. Jadi dulunya kami dari kelas 1 ke-3 dari 11 kelas paralel seangkatan kami.
Terakhir saya balas chat dia, “Oke, saya terima tantangannya”. Lalu, saya langsung tulis opini tentang ini”. Maka, jadilah seperti yang anda baca saat ini. Mohon maaf jika ada kesalahan dari yang saya sampaikan. Maklumlah, masih belajar dalam memahami seluk-beluk publikasi ini.
Saya tidak mau terlibat ke isu yang sedang hangat dibahas. Tentang “self plagiarism”, seperti yang diangkat TEMPO. Lagi pula, kapasitas saya juga bukan di situ. Lebih pas kalau saya fokuskan ke permasalahan publikasi saja.
Menurut teman saya itu, permasalahan publikasi sengaja diangkat sebagai dalil-dalil pembenaran untuk menghindari kewajiban menulis jurnal. Sepertinya ada kaum yang anti jurnal internasional.
Scopus tentunya! Awam yang tidak paham mengenai publikasi, pasti mengira bahwa jurnal itu negatif. Buruk. Tidak bagus. Pokoknya tidak banyak gunanya! Benarkah begitu? Entahlah! Maka, ini yang perlu diluruskan.
Sama halnya bagaimana saya sejak 2 tahun lalu sudah mengedukasi teman saya itu. Anda bisa lihat sekarang, bagaimana positif dan pedulinya dia dengan masalah publikasi di negeri tercinta ini.
Pasti ada pertanyaan dari kita. Mengapa masalah publikasi di Indonesia selalu menarik untuk dipertanyakan? Mengapa ada sebutan jurnal abal-abal? Apa itu Scopus? Apa itu SINTA?
Mengapa biaya publikasi jurnal Scopus mahal, bahkan sampai belasan juta rupiah bahkan lebih? Mengapa ada insentif atau remunerasi bagi penulis yang publish di Jurnal Scopus, juga Sinta? Baiklah, saya coba jelaskan. Mudah-mudahan bisa mengcover semua pertanyaan di atas. Ada 2 alasannya di sini.
Pertama; bagaimana kampus memenuhi tuntutan dari Tri Darma Pergurung Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Di sini kita fokus ke penelitian saja, yang outputnya publikasi. Selain itu, bentuk lainnya adalah produk terapan (alat, formula, dll), buku, teori, HAKI, dsb. Karya ilmiah bisa dipublikasikan di jurnal internasional dan nasional.
Untuk jurnal internasional, ada namanya “indeks”. Semacam standard kualitas. Banyak sekali ragamnya. Salah satu yang jadi rujukan itu Scopus. Scopus adalah salah satu database (pusat data) sitasi atau literatur ilmiah yang dimiliki oleh penerbit terkemuka dunia Elsevier.
Selain itu, ada lagi WoS atau Web of Science, yang katanya lebih ketat lagi dari Scopus. WoS adalah layanan pengindeksan sitiran ilmiah yang saat ini dikelola oleh Clarivate Analytics (sebelumnya Thomson Reuters), yang menyediakan pencarian sitiran yang komprehensif.
Scopus dibagi atas 4 tingkatan. Disebut Quartile. Biasa disingkat Q. Mulai dari Q4 paling bawah sampai Q1 paling atas. Sederhananya begini. Misalkan ada 100 jurnal dalam suatu bidang ilmu, maka Q1 itu adalah peringkat 1-25, Q2 peringkat 26-50, Q3 peringkat 51-75, dan Q4 peringkat 76-100.
Untuk tingkat nasional, ada SINTA, yang sengaja dikelola pemerintah. Dalam hal ini DIKTI (pendidikan tinggi) di bawah Kemendikbud dan Kemenristek/BRIN. Tujuannya supaya ada jenjang liga publikasi jurnal di tingkat nasional.
SINTA ini mengambil data publikasi penulis dan afiliasianya (perguruan tinggi dan lembaga riset) dari Scopus, WoS dan Google Scholar. SINTA dibagi menjadi 6 tingkatan, Mulai dari SINTA 6 yang terbawah, sampai SINTA 1 yang tertinggi.
Jurnal nasional yang sudah mencapai SINTA 1 sudah merupakan jurnal internasional yang diindeks oleh Scopus. Pemerintah berusaha mengangkat jurnal nasional untuk naik kelas sampai ke SINTA 1.
Banyak pelatihan yang diberikan untuk pengelola jurnal tersebut. Maka, semakin banyak publikasi orang di kampus di jurnal Scopus dan semakin banyak juga kampus mempunyai jurnalnya yang diindeks oleh SINTA, maka akan semakin melejitkan peringkat kampus itu.
Lalu, jurnal abal-abal itu apa sih? Nah, inilah perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bisa saja jurnal tersebut tidak diindeks oleh Scopus. Atau, mungkin saja jurnal tersebut tadinya sempat bagus. Sehingga bisa diindeks oleh Scopus. Tetapi, setelah itu proses manajemen publikasinya berantakan.
Contoh. Topik yang dipublikasikan tidak sesuai dengan cakupan jurnalnya. Tidak melakukan proses evaluasi (review) yang benar. Fokusnya untuk mendapatkan biaya publikasi dari penulis. Dan, masih banyak lagi keburukan-keburukan lainnya.
Akhirnya, pada evaluasi berikut tidak masuk dalam kriteria Scopus. Lalu Scopus membuangnya dari daftar indeksnya. Biasanya yang kena jurnal ini adalah penulis yang kurang awas. Tidak update. Tidak paham soal beginian. Tertipu oleh rayuan gombal yang ngaku-ngaku sebuah jurnal.
Kedua; adanya sistem pemeringkatan (ranking system) yang dianggap sebagai ajang balap-balapan antar kampus, baik secara nasional maupun internasional. Ini kan bagus. Bisa jadi bahan evaluasi. Paling tidak, ada 4 badan pemeringkatan untuk universitas secara internasional.
Ada QS World University Rankings (QS), Times Higher Education (THE), Centre for World University Rankings (CWUR), Academic Ranking of World Universities (ARWU).
Secara umum, keempat badan tersebut menggunakan indikator yang meliputi; reputasi akademik dan lulusan, jaringan penelitian internasional, publikasi ilmiah dan sitasi, program internasional dan mahasiswa asing, kualifikasi staf pengajar, dsb. Semuanya memberikan bobot yang berbeda satu sama lain untuk masing-masing indicator.
Nah, kita fokus ke publikasinya saja sekarang. Porsi publikasi internasional ini sangat besar dalam system peringkat universitas. Semakin top peringkat kampus, semakin dilirik kampus itu oleh calon mahasiswa atau calon lembaga lainnya dalam bentuk kerjasama, donasi, atau daya serap alumni. Ini tentu untuk kampus yang mandiri tanpa terlalu mengandalkan dana dari pemerintah bagi PTN, atau dari Yayasan bagi PTS.
Mengapa kampus di Indonesia seperti berlomba-lomba dalam publikasinya? Saya pikir, selagi kampus harus memenuhi biaya operasionalnya yang tidak sedikit, mau tidak mau kampus harus ikut “liga” kampus secara nasional maupun internasional. Tujuannya, agar mendapatkan peluang atau daya tarik seperti yang sudah saya jelaskan di atas.
Maka, mau tidak mau masing-masing kampus harus menggenjot kinerjanya agar terlihat kinclong. Ini secara tidak langsung sudah melibatkan kampus masuk ke dalam “liga” tadi. Konsekuensinya adalah “posisi”.
Untuk itu, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas riset. Hasilnya, paling tidak bisa membuktikan sudah ada yang sampai di muara publikasi. Untuk itu, ada beberapa solusi yang harus dilakukan oleh kampus agar tidak kusam, bahkan semakin kinclong:
Pertama; melakukan evaluasi diri terkait dengan publikasi. Ada beberapa tahapan. Pemetaan (mapping) kemampuan publikasi dengan topik riset dan semua staff yang ada di kampus. Kemudian, mapping jurnal tujuan sesuai dengan mapping skill yang ada.
Jurnal tujuan mulai dari jurnal tanah air yang sudah terindeks SINTA dari SINTA 6 sampai SINTA 1. Atau, dari Scopus Q4 sampai Q1. Berbarengan dengan itu, mempersiapkan jurnal-jurnal yang ada di kampus untuk siap diakreditasi oleh SINTA.
Entry levelnya di SINTA 6. Siapa tahu dengan sudah bagus manajemen jurnalnya, minta akreditasi bisa dapat SINTA 3, bahkan SINTA 2. Ada pelatihan untuk pengelola jurnalnya.
Tujuannya, supaya ada jurnal nasional yang nantinya masuk liga internasional (SINTA 1 artinya sudah Scopus, Sinta 2 sedang dibina untuk masuk SINTA 1 yang Scopus).
Jurnal dari Indonesia hasil binaan Dikti sudah banyak yang masuk Q3 bahkan Q2. Lalu, melakukan tandeminasi antara yang sudah skill dan berpengalaman menembus jurnal tertinggi kualitasnya dengan yang baru mulai belajar menulis publikasi. Nah, yang baru belajar menulis, bisa masuk di Jurnal SINTA 6, 5, 4, 3, 2 dulu.
Kedua; melakukan kolaborasi riset secara nasional/internasional dengan topik yang saling terkait dan mendukung. Bisa saja Engineering dengan Economic karena yang dianalisa selanjutnya adalah produk yang sudah didisain oleh Engineering.
Diharapkan dari sini publikasi hasil riset meningkat dari tahun ke tahun, baik secara kuantitas mauun kualitas. Tentu bagi yang sudah professor atau setingkat di bawahnya lektor kepala (setara dengan asisten professor) diharapkan menjadi team leader yang tepat dalam menggenjot kinerja penelitian di kampusnya.
Ketiga; melakukan implementasi, industrialisasi, hilirisasi, dalam bentuk produk yang langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Tentu, topik penelitian yang aplikatif menjadi suatu penilaian tersendiri.
Oh ya, semua orang bisa saja jadi Doktor tanpa harus menjadi dosen/peneliti. Tetapi, untuk mendapat pangkat sampai professor harus menjadi dosen/peneliti.
Harus ikut semua aturan main yang sudah ditetapkan oleh Dikti/Ristek! Hal ini penting untuk menepis tudingan bahwa kampus hanya mengejar publikasi untuk kepangkatan yang bersangkutan.
Sebentar! Kayaknya tidak segampang itu deh. Begini. Ada teman saya. Doktor. Punya publikasi jurnal dan buku. Saking lama dan susahnya menurus kepangkatan, sampai dia itu lupa kalau dia belum juga Asisten Ahli (AA). Saya panggil dia “capral”, calon kopral.
Bayangkan, masih ada 3 tanjakan cadas dan terjal; Lektor, Lektor Kepala, Guru Besar (GB). Ternyata tidak segampang yang diributkan orang! Saya besarkan hatinya. Tidak usah pikirkan kepangkatan. Tidak usah pusing pula dengan tidak adanya apreasiasi yang mungkin belum disadari oleh petinggi kampusnya.
Jangan pula iri dengan bagaimana kampus lain mengapresiasi dosen/penelitinya yang bisa menembus publikasi di jurnal Scopus. Jangan down-lah pokoknya. Walaupun riset dan publikasi itu butuh biaya. Tetap berkarya! Yang lebih penting itu adalah manfaat dan pengakuan dari hasil riset dan publikasi kita.
Terakhir, kembali ke pertanyaan awal lewat judul, “Seberapa kusamkah wajah kampus kita?” Saya pun tidak mungkin bisa memberikan jawaban yang pas untuk bisa memuaskan anda. Paling tidak, anda sudah saya perkenalkan dengan SINTA. Itulah cerminnya. Silahkan anda pandang-pandangi wajah mbak SINTA nan cantik itu disini!
sumber: