Di tengah ketakutan akan lonjakan harga minyak dan konsumsi BBM yang semakin meningkat, rencana kenaikan harga BBM telah menjadi isu yang sangat “sensitif” di negeri yang masih menganut kebijakan subsidi ini. Dengan kenyataan bahwa ekploitasi minyak dan gas (migas) yang mayoritas sudah dikuasai oleh perusahaan asing, sedangkan Pertamina yang merupakan BUMN migas hanya mampu mendapatkan jatah 16% saja, maka hal inilah yang disimpulkan oleh beberapa pihak akhir-akhir ini bahwa kedaulatan energi bangsa ini sudah runtuh.
Benarkah begitu?
Jelas sekali, yang dianggap sebagai biang keladi keadaan sekarang adalah dengan diberlakukannya UU No. 22/2001 tentang migas. UU itu lahir untuk mengakomodasi permintaan IMF dalam era reformasi agar Indonesia lebih membuka diri kepada investasi asing di migas. Apalagi, kelahiran UU tersebut semakin mulus dengan memanfaatkan alasan bahwa waktu itu Pertamina dianggap tidak efisien dan korup. Sehingga, dibentuklah Badan Pengatur Hulu Migas (BPH Migas) yang mengatur persaingan yang fair antara Pertamina dengan perusahaan migas lain. Tadinya, perusahaan tersebut adalah kontraktor Pertamina berdasarkan UU No.44/1960 dan UU No.8/1971 dengan tujuannya untuk menggenjot produksi dengan kondisi terbatasnya modal, teknologi, dan tenaga ahli.
Rata-rata produksi minyak mentah (lifting) sekarang ini adalah 910 ribu barel per hari (bph), yang setengahnya dibawa ke luar oleh perusahaan asing sebagai hak bagi hasil, pengembalian biaya operasi dan investasi (cost recovery). Sementara, konsumsi dalam negeri semakin menjauhi angka produksi yaitu 1,4 juta bph. Jadi, Indonesia harus mengimpor minyak 1 juta bph. Anggap saja harga minyak mentah saat ini sekitar 100 USD/barel dan kurs 9000 Rp/USD), maka dalam setahun menghabiskan sekitar Rp 330 triliun.
Berdasarkan data terakhir yang dikeluarkan British Petroleum (BP), produksi minyak nasional pernah dua kali mencapai rekor tertinggi sekitar 1,7 juta bph, yaitu tahun 1977 dengan konsumsi 287 bph, dan tahun 1991 dengan konsumsi 696 bph. Bayangkan, jika masih besar ketergantungan akan minyak, sementara kecenderungan produksi semakin menurun 3.7%/tahun dengan konsumsi yang semakin meningkat 3.3%/tahun. Maka, sampai kapankah kekuatan kantong pemerintah untuk memberikan subsidi BBM?
Lewat penerapan UU Penanaman Modal dan anak peraturannya yang memberikan penguasaan sampai 95% untuk migas dan 90% untuk tambang ke pihak asing. Patut juga dipertanyakan, apakah bisa terbayarkan resiko kerusakan lingkungan dan kehilangan potensi ekonomi dan sosial lainnya untuk saat ini dan masa depan dari pemasukan royalti tambang (batubara) tersebut?
Maka, dengan fakta merosotnya produksi, meningkatnya konsumsi, timbulnya kecemburuan penguasaan migas dan tambang oleh korporasi asing, kekalutan pemerintah dalam menanggung beban subsidi BBM, serta terbayang nostalgia lama sebagai negara kaya minyak di masa lalu, inilah semua yang dihadapkan ke Pasal 33/UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kemudian, tidak bisa dipungkiri juga bahwa keberadaan perusahaan migas atau tambang asing di suatu negara, selain untuk mencari keuntungan, diyakini ada misi lain untuk mengamankan ketersediaan energi bagi negaranya sendiri. Artinya, jika sedikit berpikiran picik, dengan semakin dibukanya sektor migas untuk asing, sama saja membantu mengamankan ketersediaan pasokan atau ketahanan energi bagi negara asal perusahaan migas tersebut. Sementara, akses dan kemampuan di dalam negeri sendiri dirasa semakin susah karena sudah keenakan disubsidi. Kalau sudah begini, tentu rasa nasionalisme cepat bangkit. Memang tidak bisa mengelak juga dari globalisasi perekonomian, potensi energi yang ada di dunia sepertinya sudah dimiliki secara bersama tanpa ada yang bisa disembunyikan.
Sayangnya, keadaan sekarang justru diperparah lagi dengan kondisi tidak pernah siapnya pembangunan sistem dan jaringan transportasi massal yang andal dan memadai. Akibatnya, kepemilikan kendaraan bermotor terus meningkat dari tahun ke tahun dengan total omzet penjualan 280 triliun untuk 2011, dari penjualan 800 ribuan mobil dan sekitar 7 jutaan untuk sepeda motor.
Kesiapan Energi Terbarukan
Baiklah, sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari berikan apresiasi atas kepedulian berbagai pihak yang akhir-akhir ini begitu lantang dalam meneriakkan “runtuhnya kedaulatan energi”. Namun, dari apa yang dijelaskan di atas, rasanya perlu disimpulkan bahwa pengertian “kedaulatan energi” yang disuarakan tersebut fokusnya adalah “kedaulatan migas”. Padahal, energi mempunyai pengertian yang luas. Energi ada yang tidak terbarukan seperti yang sudah dibahas yaitu migas dan batubara yang asalnya dari fosil, maupun energi terbarukan seperti cahaya matahari, angin, air, biomassa yang semuanya merupakan konversi energi alami dari aktifitas matahari.
Marilah fokus sejenak ke energi terbarukan. Sekarang, Indonesia lagi bersemangat memanfaatkan potensi panas bumi (geothermal) untuk menghasilkan listrik. Negara-negara maju dalam teknologi geothermal dengan dana cukup dan dituntut menurunkan emisi karbonnya, saling berlomba untuk mendapatkan proyek tersebut. Juga, cepat atau lambat, mall, gedung komersial dan pemerintahan, serta rumah mewah, kemungkinan nanti “diwajibkan” menghasilkan listrik sebagian dengan sel surya (solar cell).
Saat ini, Indonesia belum memproduksinya, kalah dari negeri jiran Malaysia yang sudah lebih dulu memakainya untuk beberapa gedung pemerintahan dan bisnis, bahkan sudah mampu mengundang investor sel surya ternama, untuk mendirikan pabriknya di sana. Kalau China jangan ditanya! Sebagai produsen sel surya terbesar di dunia saat ini, China sedang lapar-laparnya mencari pasar karena masih rendahnya daya serap pasar dalam negerinya. Selain itu, teknologi biomassa pasti juga lagi dilirik oleh investor asing dengan menawarkan berbagai skema proyek yang menggiurkan.
Untuk energi terbarukan, sepertinya tidak ada kedaulatan energi yang diruntuhkan karena kenyataannya memang belum ada yang begitu siap didirikan. Anggap saja kondisi kedaulatan energi terbarukan ini lagi diincar oleh negara lain karena kita belum melakukan persiapan apa-apa. Tetapi, masa panen penjualan teknologi energi terbarukan tidak harus menunggu masa kejayaan energi fosil berakhir beberapa tahun mendatang. Diberlakukannya UU Ketenagalistrikan No.30/2009, yang juga dianggap pro-liberalisasi, sebenarnya sudah memberikan celah untuk itu.
Nah, silahkan disimpulkan sendiri, apakah merasa sudah runtuh ataukah dalam proses keruntuhan? Janganlah menyalahkan siapa-siapa dan walau orang luar sekalipun. Apalagi kita juga belum bisa membudayakan penghematan energi. Untuk itu, marilah kita saling instrospeksi diri, lalu berbuat yang masih bisa diperbaiki, sebelum semuanya benar-benar terlambat, atau runtuh-habis dan tidak bisa bangkit lagi!
Sumber: Harian Haluan, Selasa, 20 Maret 2012, kolom “Refleksi”, hal.1