Salah satu terobosan mereka yang cukup sukses di bidang energi adalah konversi minyak tanah ke gas alam, walaupun diwarnai beberapa permasalahan. Namun, untuk pengembangan potensi energi terbarukan boleh dibilang seperti berjalan di tempat. Justru, ada beberapa hal yang cukup memalukan yang dialami SBY, “Blue Energy” contohnya. SBY masih ada waktu 5 tahun ke depan membuktikan dirinya mampu mengembangkan potensi energi terbarukan bersama Boediyono. Kata kuncinya adalah serius dan fokus. Jika kedua kata itu dipegang, SBY-Boediyono dijamin “lulus”.
Salah satu potensinya ada di sektor komersial. Sektor komersial yang umumnya lebih banyak berbentuk gedung bertingkat, terdiri dari Hotel, Restoran, Rumah Sakit, Pusat Perbelanjaan, merupakan sektor yang sumbangannya terhadap pendapatan suatu daerah tidak dapat diabaikan. Tetapi, konsumsi energi dari sektor komersial lebih didominasi oleh pemakaian listrik yang dibeli dari produsen listrik, umumnya dari PLN. Jikapun ada yang mempunyai generator sendiri, fungsinya lebih ditujukan sebagai cadangan. Selain listrik, restoran dan hotel juga banyak membutuhkan bahan-bakar minyak dan gas untuk urusan masak- memasak.
Kalau dilihat secara angka saja, mengutak-atik sektor komersial tidaklah menarik. Bandingkan yang cuma 3.9% dari konsumsi energi primer total, sangat kalah jauh dari sektor industri (44.1%), transportasi (36.7%) dan perumahan (15.4%) (PEUI 2006). Justru, di sinilah potensinya mengurangi ketergantungan akan sumber energi tidak terbarukan (minyak bumi, batubara, gas) sebesar 94.6%, untuk minyak bumi saja sudah 60% (EIA, 2006).
Walaupun begitu, sektor komersial sebenarnya bisa diandalkan sebagai penghasil energi. Bayangkan, setiap meter persegi luas atapnya berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 4.8 kWh/hari jika dipasangi panel sel surya (Photovoltaic). Bahkan, jika dipasangi panel pemanas surya (solar thermal collector) di atap rumah sakit dan hotel juga mampu menghasilkan air panas untuk menggantikan gas boiler dan gas atau electric heater.
Potensi inilah yang perlu diwujudkan dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang mengharuskan memanfaatkan atap bangunan sebagai penghasil energi dari sumber terbarukan. Tentu, agar lebih “fair”, harus ada angka perbandingan tertentu antara energi listrik yang akan dibeli dari produsen dengan energi listrik yang dihasilkan sendiri dari Photovoltaic. Begitu juga dengan rasio kebutuhan air panas dari energi yang tidak terbarukan dengan energi terbarukan.
Satu hal lagi yang tanpa disadari adalah sistem pelayanan sektor komersial yang mengakibatkan masyarakat perkotaan semakin manja. Kemanjaan ini berakibat terhadap ketidakefisienan konsumsi energi. Perhatikan, semakin banyak pusat perbelanjaan yang tutup sampai larut malam, bahkan ada yang beroperasi 24 jam. Beberapa bank juga tidak mau kalah buka sampai Sabtu. Bukankah itu merupakan suatu pelayanan yang memboroskan?
Justru, disinilah letaknya peluang mendidik masyarakat dalam sebuah sistem ekonomi dan energi yang efisien. Kalau segala aktifitas perekonomian bisa diselesaikan dalam lima atau enam hari kerja dari jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam, mengapa harus butuh tujuh hari kerja seminggu dan dua puluh empat jam sehari? Penghematan satu hari saja efeknya sangat luar biasa sekali. Tidak saja berkurangnya konsumsi energi di sektor komersial, tetapi juga berdampak kepada konsumsi energi di sektor lain, seperti transportasi kendaraan umum dan pribadi. Para menteri terkait harus mampu mengaji secara mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek, terutama ekonomi dan sosial dan kajian itu harus berani untuk diimplementasikan.
Pemanfaatan sel surya dan panel pemanas surya tidak saja mampu menyediakan energi murah dan bersih, tetapi juga mampu memberikan lapangan kerja, mulai dari investasi, produksi, penjualan, instalasi dan juga perawatan. Jerman, negara yang termaju dalam pemanfaatan energi terbarukan, kontribusi energi terbarukannya mencapai 9.8 % (2007) dari total produksi energi final dan sanggup memberikan lapangan kerja sebanyak 278,000 (2008). Sel surya saja menyumbangkan 57,000 dan panel pemanas surya sebesar 17,400 lapangan kerja (FKZ,2008). Potensi yang sangat luar biasa efeknya untuk Indonesia yang sangat butuh banyak energi dan lapangan kerja.
Untuk menggerakkan kebijaksanaan itu, Pemerintah harus memberikan insentif, seperti subsidi investasi, pajak, dan kalau perlu membeli di atas harga jual PLN listrik yang dihasilkan dari sel surya (feed in tariff), seperti halnya yang juga sukses diterapkan oleh Jerman. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga harus segera merangsang terciptanya industri yang berbasis energi terbarukan, seperti industri sel surya dan industri panel pemanas surya.
Dari implementasi semua kebijaksanaan itulah terjadi efisiensi energi nasional, mengurangi ketergantungan akan energi fosil dan memberikan tambahan lapangan kerja. Jika terwujud, ini merupakan prestasi besar dan membanggakan dari pemerintahan SBY-Boediyono.
Pertanyaannya, “Mampukah mereka mewujudkannya dalam 5 tahun ke depan?” Jawabannya tergantung dari seberapa serius dan fokus mereka terhadap permasalahan energi.
Penulis: Erkata Yandri, periset pada Solar Energy Research Group, Dept. Vehicle System Engineering, Faculty of Creative Engineering, Kanagawa Institute of Technology – Japan.
https://koran.tempo.co/read/opini/179530/pekerjaan-rumah-presiden-untuk-sektor-energi