
TEMPO
Krisis ekonomi, yang sedang menerpa Eropa Barat, ditambah belum pulihnya Amerika Serikat dari krisis terdahulu, telah melorotkan permintaan minyak mentah di berbagai negara, termasuk China. Walaupun Iran dilarang menyiram pasar minyak akibat diembargo oleh Uni Eropa karena masalah nuklir, ternyata tidak banyak membantu. Malah harga semakin terperosok sampai ke level 90 USD/barel.
Memang lagi murah harganya, namun jangan terlalu senang terlebih dahulu! Dengan ketersediaannya yang semakin menipis karena eksploitasi dan konsumsi yang ekstensif, tidak ada yang berani menjamin bahwa minyak akan murah selamanya. Apalagi para pemimpin dunia, khususnya kawasan yang lagi diterpa krisis, sedang berusaha memperbaiki keadaan. Cepat atau lambat, itu akan menstimulus ekonomi global. Harga akan siuman, bahkan cepat meroket. Inilah yang harus ditakutkan.
Sebagai negara pengekspor, pengimpor, dan pemberi subsidi energi, fenomena turun-naiknya harga minyak merupakan ujian bagi Indonesia. Saat turun, usaha pemerintah dalam menuntaskan masalah energi mungkin agak mengendor, sementara itu rakyatnya semakin merasa tidak ada masalah dengan minyak. Tetapi, ketika berbalik naik, situasi politik cepat sekali memanas, yang ditekan oleh dua opsi; menaikkan harga BBM atau merevisi APBN. Rakyat malah semakin bingung.
Anggaplah masih beruntung, efek dari gejolak harga minyak belum sempat membangkrutkan Indonesia. Namun, dengan memperhatikan kondisi ketahanan energi nasional sekarang, apakah Indonesia masih siap menghadapi gejolak harga minyak di masa mendatang?
Egois dan Politis
Kita memang sudah punya cetak biru dan mungkin juga peta jalan energi sebagai panduan. Namun, itu semua tidak otomatis menjamin aman jika dinilai dari kesungguhan pemerintah dalam eksekusi. Jelas sekali masalahnya, lemahnya koordinasi dan sinergi. Maka, bukannya pesimis, tetapi kesiapan dalam menghadapi gejolak mendatang masih tanda tanya. Apalagi, masih ada dua mindset berikut.
Pertama, banyak orang di negeri ini berkeyakinan bahwa cadangan minyak Indonesia masih sangat berlimpah, dengan memberikan pendapatan negara yang melimpah pula. Sehingga, mereka berpikiran bahwa tidak ada salahnya jika dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyatnya lewat subsidi, bukan untuk negara asing yang mengolahnya. Sayangnya, menurut data terbaru dari British Petroleum, dengan asumsi usaha eksplorasi tidak menemukan cadangan baru, maka potensi minyak Indonesia habis dalam 10 tahun lagi, bandingkan dengan cadangan global yang cukup untuk 50 tahun lagi.
Perlu disadari kondisi berikut, yaitu rakusnya konsumsi minyak dengan laju 3.2% setahun, yang diperparah lagi dengan turunnya produksi 3.5% setahun. Bahkan, produksi minyak mentah sudah mencapai titik terendah 825 ribu bph akhir-akhir ini. Tidak ada artinya dibanding produksi rata-rata sebelumnya sekitar 880 ribu bph, atau revisi target 930 ribu bph pada APBN-P 2012, atau harapan SBY sebanyak 1 juta bph pada tahun 2014 nanti, apalagi bermimpi untuk bisa menyamai produksi puncak 1991, 1.7 juta bph.
Tentu, tidak bijak jika menyerah begitu saja karena faktor alam, padahal faktor manajemen juga tidak kalah pentingnya. Sudah lama dipermasalahkan, masalah koordinasi dan sinergi antar instansi, yang berimbas ke regulasi, akhirnya menghambat investasi perminyakan. Selain itu, manajemen maintenance yang buruk mengakibatkan tingginya angka ”shutdown” yang sering mengancam produksi. Jika hal yang sederhana ini tidak segera diselesaikan, jangan harapkan produksi minyak akan cepat terangkat.
Kedua, ada paham konservatif, entah karena alasan ekonomi atau politis di belakangnya, yang mengatasnamakan rakyat bahwa belum siap menanggung segala efek ekonomi dan sosial dari kenaikan BBM. Subsidi BBM sudah dianggap sebagai hak yang harus dipertahankan. Parahnya, pemerintah tampaknya gamang, walaupun harus menanggung resiko mandeknya pembangunan, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang jauh lebih lebih penting.
Akibat disubsidi, BBM premium Indonesia terkesan murah, yaitu Rp.4.500/liter. Bandingkan dengan negara tetangga yang hanya menjual BBM kualitas tinggi, seperti Vietnam Rp.10.500/liter, Philippines Rp.12.500/liter, dan Thailand 16.500/liter. Tidaklah heran, subsidi BBM 2011 mencapai 165.6T. Jika program penghematan energi yang dimulai pemerintah sejak Juni 2012 tidak berhasil, maka subsidi BBM 2012 diperkirakan melonjak 216,8T.
Bantuan langsung tunai (BLT) mungkin dijadikan jalan pintas, alasannya demi melindungi rakyat. Teorinya, BLT mungkin lebih baik dari subsidi BBM, yang mungkin tidak sampai ke sasaran yang tepat. Menjelang 2014, bisakah BLT tanpa mencari keuntungan politik?
Fokus dan Pecut
Setengah dari bauran energi saat ini masih bertumpu ke minyak, sementara impor minyak sepertiga dari konsumsi. Itu pun sudah dengan anggapan bahwa PLN telah sukses mengurangi kecanduan ”meminum” minyak, dengan beralih “menyantap” batubara dan ”menghisap” gas. Sayangnya, sektor transportasi belum bisa mengerem, bahkan semakin kehausan minyak. Jika tidak serius bertindak, jangan kaget Indonesia akan segera menjadi 100% pengimpor minyak.
Untuk lebih tenang dalam menghadapi gejolak harga minyak, juga tidak menyusahkan generasi selanjutnya, maka logika sederhananya adalah bagaimana mengurangi ketergantungan akan minyak dengan solusi alternatif. Sebenarnya untuk hasil yang cepat, tidak perlu solusi rumit, yang mungkin cukup menghabiskan waktu dan biaya yang banyak. Maka, pertimbangkanlah segera dua syarat mudah berikut.
Pertama, seimbangkan fokus dengan melihat persoalan energi saat ini dan masa depan. Kalaupun kita masih berharap banyak dengan minyak, harapan untuk memperpanjang napas, maka benang kusut di hulu sampai ke hilir harus diurai secepat mungkin. Bereskan saja segala aturan yang mempersulit iklim investasi dan regulasi yang menjadi disinsentif bagi investasi. Tantangannya adalah kemauan dan keinginan untuk berubah, dengan membongkar dinding egoisme di masing-masing pihak yang terkait. Jika beres, jangan lupa berdoa! Siapa tahu nanti ditemukan cadangan minyak raksasa di dasar laut sana.
Kemudian, gencarkan program penghematan energi, energi alternatif dan terbarukan secara bersamaan, demi keanekaragaman energi. Jangan hanya menjadi wacana. Pastikanlah semuanya ”on the right track”. Akselerasi adalah suatu keharusan!
Kedua, cambuklah manajemen pemerintah dari pusat sampai daerah untuk memperbaiki sistem transportasi agar lebih efisien, murah dan aman. Sepertinya, hanya Jakarta dan beberapa kota besar lainnya saja yang disorot. Semestinya, setiap pemerintah daerah dituntut hal yang sama. Sayangnya, kepedulian pemerintah daerah dalam masalah energi masih kurang, bahkan ada yang ngotot meminta tambahan jatah tanpa banyak usaha mengefisienkan jatah yang ada. Juga, jangan terjadi persaingan program pangan dan energi, hanya karena menteri yang berbeda partai.
Realistis saja, agar tidak memboroskan biaya dan waktu, maka tidak usah terlalu berharap usaha yang canggih dan serius kepada pemda. Bukan maksud meremehkan, kenyataannya cara mudah dan sederhana seperti menata kemacetan akibat antrian di sekitar terminal bus, banyak yang tidak peduli. Semrawut dan macet sudah dianggap hal yang lumrah. Minyak subsidi terbueang percuma di sana. Apalagi diminta untuk tindakan fisik, yang sangat memakan waktu dan biaya, seperti memperpendek jarak tempuh, atau mengurangi tanjakan dan jalan melingkar, dsb, demi efisiensi energi, dijamin menjadi prioritas terakhir.
Tetapi, tanpa memberdayakan pemerintah daerah, program penghematan energi tidak ada artinya. Dari pada frustasi, sebaiknya kinerja energi dijadikan sebagai indikator, yang dijadikan salah satu unsur penilaian bagi pemda, seperti jatah subsidi BBM maupun alokasi APBD. Diharapkan, ini akan lebih merubah mindset dengan menciptakan persaingan sehat antar pemda, khususnya masalah energi. Cukup fair, bukan?
Singkatnya, jadikanlah momentum minyak murah dengan menggenjot efisiensi, kreatifitas, dan membudayakan hemat energi, agar ”siap” di masa depan. Jangan sampai semua terlena tanpa banyak berbuat, apalagi sebagai akal-akalan, ataupun pencitraan. Kita harus segera menggebrak dengan dahsyat.
Siap-siaplah, China sudah mulai rakus memburu minyak!
Penulis: Erkata Yandri, konsultan energi dan manajemen industri, alumni Universitas Oldenburg, Jerman