Krisis minyak sudah menjadi alat pemacu jantung yang rutin bagi pemerintah. Sejak awal diancam, embargo perdagangan terhadap Iran yang dimotori oleh USA oleh karena masalah nuklir, detak jantung pemerintah sudah semakin kencang. Ini sudah yang kesekian kalinya dialami oleh pemerintah dengan kemungkinan bergejolaknya harga minyak. Penyebabnya, besarnya ketergantungan terhadap impor minyak yang diperparah dengan kebijakan subsidi.
Mungkin, masih banyak diantara kita yang belum menerima kenyataan dan terbuai dengan kebanggaan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya minyak. Memang betul, tapi itu dulu. Masa kejayaan minyak Indonesia sudah lewat sejak beberapa tahun yang lalu. Dulu bisa menjadi negara pengekspor minyak, bahkan menjadi anggota OPEC dan sempat menjadi ketuanya, karena konsumsi masih jauh di bawah produksi. Tapi sekarang, konsumsi sudah jauh melebihi produksi.
Berdasarkan data terakhir yang dari British Petroleum, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi peningkatan konsumsi sebesar 3.7% per tahun, sedangkan produksi malah menurun 3.3% per tahun. Perkiraan tahun 2011, produksi hanya mampu mencapai 950 ribu barel per hari (bph) dengan konsumsi 1.4 juta bph. Keadaan ini diperparah lagi dengan kemampuan kilang yang hanya 1 juta bph, sehingga sekitar 34% kekurangannya diimpor, umumnya dari Singapura.
Pertanyaannya, “mau sampai kapan jantungan seperti ini dibiarkan berlanjut? Kalau memang berniat sehat dan bisa tenang, maka apa saja yang sudah disiapkan dan dilakukan sejauh ini?
Mungkin terlalu cepat berharap atau menuntut kinerja terlalu tinggi kepada pemerintah, apalagi kalau dengan masa depan. Untuk itu, mari fokus saja menganalisa kondisi sekarang ini. Maka, paling tidak ada tiga hal yang perlu dipahami.
Pertama, pemerintah berusaha menghibur diri dengan menurunkan target lifting dari 970 ribu menjadi 950 ribu bph. Pemerintah sudah menyadari bahwa penyebab ini semua adalah karena iklim investasi dan birokrasi migas yang tidak mendukung, yang cenderung menurun sejak 1998. Rendahnya investasi eksplorasi, menyebabkan hampir tidak ada penemuan cadangan baru. Hal inilah yang menyebabkan cadangan minyak Indonesia tidak mengalami penambahan yang berarti.
Kedua, belum ada ketegasan mengenai kebijakan BBM bersubsidi. Wakil Menteri ESDM sepertinya banyak melempar ide dan wacana kepada publik. Akibatnya, rakyat bingung akibat ketidakjelasan kebijakan. Bagi kalangan industri, ketidakpastian masalah subsidi akan berpengaruh kepada kelangsungan bisnis. Ketidak pastian ini akan menyebabkan banyak yang menahan diri dalam berproduksi. Bagi masyarakat awam, ini menyangkut kesiapan keuangan mereka dalam menghadapi gejolak harga kebutuhan hidup, termasuk transportasi. Perlu diingat, jangan sampai pemerintah kecolongan dengan harga yang melambung duluan akibat keragu-raguan dan keterlambatan dalam mengambil keputusan.
Ketiga, pemerintah terkesan tidak mempunyai persiapan yang matang dalam rencana konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) pada April 2012 nanti. Memang, rencana konversi itu bagus dan harus didukung oleh semua pihak. Tetapi, apakah itu realistis itu jika dipaksakan sesuatu dengan infrastruktur pendukung yang belum siap? Untuk Jakarta saja, jumlah SPBG bisa dihitung dengan jari. Apakah tidak akan menimbulkan penumpukan atau antrian panjang saat pengisian? Asumsinya jika kendaraan tersebut masih beredar sekitar Jakarta, tentu harus berpikir ribuan kali jika keluar kota. Bukankah itu menghambat aktifitas dan kenyamanan?
Sehingga, ada dua hal yang dapat disimpulkan
Pertama, pemerintah sepertinya belum bisa membentuk sinergi dan koordinasi di dalam masalah energi. Bangsa ini lebih suka dengan pola single fighter, yang lebih suka menjadi Super-Man daripada menjadi Super-Team. Akibatnya, masalah yang ada sepertinya berat dan lama untuk dibereskan. Lemahnya sinergi dan koordinasi di negeri ini menyebabkan lemahnya implementasi karena terlalu banyak wacana. Tentulah, patut dipertanyakan di sini bagaimanakah sebenarnya sistem manajemen proyek di pemerintahan?
Kedua, pemerintah masih terpaku dengan opsi tradisional, yaitu masih berharap banyak dari potensi minyak yang bisa dipompa, tanpa diimbangi dengan usaha yang serius untuk diversifikasi maupun efisiensi energi. Hal ini bisa dilihat dari begitu tingginya harapan yang ditumpahkan ke Wakil Menteri ESDM. Perhatikanlah, begitu lancarnya ide dan wacana yang dilemparkannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Presiden sebagai manajer tertinggi di pemerintahan ini belum mampu mengendalikan segala sumber dayanya.
Mencermati krisis dan gejolak perminyakan dunia, tidak cukup hanya dengan berdoa dan berharap agar masalah segera berlalu. Tidak cukup juga dengan kebijakan atau tindakan yang efeknya hanya sesaat, atau tidak menyeluruh untuk jangka panjang dan cakupan yang luas. Maka, sekarang yang harus dipikirkan dengan serius adalah bagaimana segera keluar dari ketergantungan yang semakin besar terhadap minyak tersebut.
Apapun pertimbangannya, hanya ada dua pilihan di sini, yaitu, bagaimana segera mewujudkan diversifikasi energi termasuk energi terbarukan dan membudayakan penghematan energi. Yang penting adalah seberapa cepat mewujudkannya, bukan dengan seberapa lama mendiskusikannya.
Zaman dulu, uang dan orang adalah masalah utama, sehingga segalanya tergantung kepada bantuan asing. Sekarang, dengan semakin membaiknya perekonomian nasional (walaupun juga masih banyak hutang), juga semakin banyaknya orang cerdas lagi mau bekerja, maka uang dan orang bukan masalah lagi. Justru, yang masalah adalah tidak adanya kemampuan dan keberanian membuat kebijakan yang bagus, “implementable” dan tentu lebih berpihak kepada rakyat.
Camkanlah! Semakin besar ketergantungan akan minyak yang dipasok dari impor, disamping menjadi lahan bisnis yang enak bagi negara lain, ataupun oleh mafia perminyakan, tetapi juga semakin melemahkan keamanan negara ini. Jika tidak ada tindak lanjut yang terkonsep jelas, maka jangan berharap krisis minyak akan terselesaikan atau denyut jantung pemerintah kembali normal.