Tulisan ini berawal dari diskusi grup WA teman-teman SMA saya. Kemudian, tantangan diberikan oleh dua orang teman jurnalis itu. Sebenarnya buat artikel seperti judul ini gampang saja bagi mereka. Tetapi, mereka ingin melihat sudut padang yang lain. Saya yang non-jurnalis, dengan background industri dan akademisi. Kalau saya yang level “kapuyuaks” aja sih. Yang ecek-ecek aja. “Cuma itu yang bisa kita berikan saat ini ke Sumbar dari rantau”, begitulah kira-kira bunyi rayuan pulau kelapa. Pendapat Buya Syafii Maarif itu dibenarkannya. Jeweran Buya Maarif dianggapnya seperti sudah “menampar” orang se-Sumbar. Yah, entahlah!
Baiklah, ijinkan saya untuk mulai mendongeng ya!
OK! Mari kita lihat jejak ke belakang dulu. Untuk lebih mudahnya, mungkin cukup kita analisa jejak singkat beberapa gubernur dalam era reformasi ini saja. Kinerja dan gaya manajemen saja. Sesuai kondisi pencapaian yang sudah mereka lakukan dengan dampak yang ditimbulkan secara singkat dan padat. Untuk kinerja, masih bisa dimanfaatkan data yang dikeluarkan oleh BPS. Untuk gaya kepemimpinan bisa dianalisa sedikit dari jejak dijital berita yang ada.
Zainal Bakar adalah seorang birokrat. Ia menjabat Gubernur Sumatera Barat periode 2000 – 2005. Sebelumnya ia menjabat sebagai Bupati Padang Pariaman dan jabatan lain di pemerintahan Sumbar. Sama saja seperti pejabat di era Soeharto. Semua berjalan santai, aman dan terkendali tanpa gejolak.
Gamawan Fauzi adalah seorang birokrat dan politikus dari Partai Demokrat. Ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat sejak 15 Agustus 2005 hingga 22 Oktober 2009. Kemudian diberi kepercayaan menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 20 Oktober 2014. Penghargaan Bintang Mahaputera Utama 2009 diraihnya selama menjabat sebagai Gubernur Sumbar.
Irwan Prayitno adalah seorang pakar pengembangan SDM, psikolog, praktisi pendidikan, dan politikus dari PKS. Ia menjabat Gubernur Sumatra Barat dua periode hasil pemilihan Gubernur 2010 dan 2015. Sebelumnya, ia duduk di Dewan Perwakilan Rakyat tiga periode sejak 1999 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia dikenal sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Adzkia, tetap mengajar dan menunaikan dakwah sepanjang kariernya. Dipenghujung masa jabatan Irwan Prayitno, sempat mengemuka soal KEK Mandeh dan KEK Mentawai.
Mahyeldi adalah mubalig dan politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat. Sebelumnya, ia merupakan Wali Kota Padang dua periode hasil pemilihan umum 2013 dan 2018. Selama kepemimpinannya, Padang meraih kemajuan di bidang infrastruktur, pariwisata, dan kebersihan. Lewat pendekatan partisipatif, ia memimpin penataan objek wisata dan pasar tradisional yang semrawut pasca-gempa bumi 2009 tanpa menimbulkan gejolak. Sudah 1 tahunan ini Mahyeldi tidak pernah singgung soal KEK Mandeh yang pernah disebut Irwan Prayitno.
Lalu, pertanyaannya sekarang, mengapa judul artikel ini seperti memaksakan bahwa Sumbar (tidak) membutuhkan seorang “visionary leader”? Maaf, Bosque. Saya belum bisa menjawabnya sekarang ya. Selow-selow aja dulu. Kita harus tahu dulu bagaimana status terkini dalam pembangunan Sumbar. Lebih fair, mari kita lihat dulu pencapaian Sumbar dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebenarnya ini sempat saya senggol di artikel Mengulas Jeweran Buya Maarif untuk Elite Politik Sumbar.
Kalau diperhatikan, memang secara statitistik angka-angka IPM Sumbar meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun kenaikannya tidak begitu besar amat sih. Tapi, posisinya masih sedikit di atas rata-rata nasional yang 72%. Sama halnya dengan LPPD dan PPM yang secara data juga ada kemajuan. Artinya, adalah hasil kerja dari gubernur sebelumnya. Namun, saya pikir angka pencapaian itu tidak sesuai dengan potensi SDA dan SDM yang dimiliki Sumbar. Teman-teman saya banyak juga yang sependapat dengan ini. Potensi besar, tapi hasilnya tidak memadai. Sumbar ya begitu-begitu aja. Seharusnya, angka-angka itu bisa jauh di atas itu.
Kira-kira, apa ya permasalahannya? Menurut saya, ada dua faktor yang harus kita cermati bersama.
Pertama, Sumbar terlalu terlena dengan punya Semen Padang. Pabrik semen tertua di Indonesia. Sebagaimana yang sudah saya tulis di sini, Sumbar Tidak Hanya “Abu” Semen Padang: Sebuah Catatan untuk Tanah Kelahiran Tercinta. Padahal, dengan pabrik sebesar itu, dengan kebutuhan sumber daya alam yang luar biasa besarnya, daya serap tenaga kerja SP hanya seribuan orang saja. Dari laporan tahun 2020, produksi SP sebesar 5.156.654 ton, Profit yang diberikan ke negara sebesar 901 M. Yah, sekitar Rp 174.726/ton produksi. Kalau saja ada 10, 100, 1000 atau lebih banyak lagi perusahaan besar selevel SP di berbagai sektor di Sumbar, tentu cerita akan lain.
Mungkin manusia Sumbar tidak harus sebanyak itu yang “bakirok” (baca: merantau) jauh untuk “mangakeh” (baca: mencari makan) di kampung orang. Tinggalkan kampung sendiri. Membangun kampung orang, walau masih satu NKRI. Tapi, kan gak ada! Jadi, tidak ada banyak cerita manis untuk dibanggakan!
Sumbar juga lupa kalau sampai saat ini belum juga punya semacam KEK (Kawasan Ekonomi Khusus). Padahal itu fasilitas yang diberikan pemerintah pusat untuk menggenjot pembangunan perekonomian di derah. Sementara daerah lain sudah semakin getol memanfaatkannya. Kalau diadu, Sumbar jauh kalah dengan Kepri yang mempunyai banyak KEK. Bahkan banyak yang dimiliki oleh swasta. Tapi, dapat fasilitasnya KEK. Sumbar kurang banyak membuat terobosan. Mencontek juga tidak apa-apa juga. Sumbar ibarat lahan subur. Mau ditanam apa pun pasti tumbuh. Kalau tidak ditanam-tanam, yang akan tumbuh ya “gulma”. Parasit! Penyakit! Masalah! Pusing kepala! Hadeh…….. !
Saya pikir, mungkin Sumbar perlu dibentuk semacam Badan Pengusahaan Sumbar. Badan ini yang semestinya mengelola KEK Pariwisata Mandeh, Mentawai, dsb. Mungkin dikembangkan ke KEK lainnya seperti industri, pertanian, peternakan, dll. Mudah-mudahan toll Padang-Pekanbaru itu bisa membuka cara berpikir orang Sumbar saat ini. Supaya bisa melihat bukti bahwa uang mengalir makin kencang ke Sumbar. Nah, mungkin dengan itu Sumbar baru bisa percaya.
Sekedar pinjam perumpamaannya orang kuliahan. Jangan sampai nanti propinsi lain sudah berdiri ceria di podium terima ijazah kelulusan, sementara Sumbar baru bangun tidur cuci muka plengak-plengok tanya kiri-kanan soal ujian. Jangan sampai deh! Malu …..
Kedua, Sumbar terlalu curiga dan cenderung menutup diri dari investasi luar ke dunia bisnis, termasuk sektor ritel dan jasa. Memang begitu sulitkah orang luar untuk berinvestasi di Sumbar? Apakah masalah tanah ulayat masih jadi alasan? Kalau soal ini pun saya pikir ada semacam mekanisme adat untuk menyelesaikan beragam perkara sejak dulu kala. Contoh lain, soal tidak boleh ada mini-market semacam Indomart, Alfamart, dsb. Saya paham, Sumbar takut kalau “lapau-lapau ketek” itu akan habis dimakan oleh minimarket luar. Sehingga, “traditional-mart” itu diproteksi.
Saya pun juga paham kalau elit-elit pebisnis Sumbar merasa terancam keberlangsungan bisnisnya. Kira-kira, jangan yang “itulah” berkuasa di sini. OK. Lalu, bagaimana perkembangan Nagarimart itu sekarang? Apakah yakin akan bisa dikembangkan jauh lebih dahsyat dari model bisnis Indomart dan Alfamart? Saya tentu akan senang juga kalau brand minimart Sumbar itu bisa berkiprah di kampong sendiri.
Cepat atau lambat, paling tidak 3-5 tahun lagi, topik “Nagarimart” ini akan menjadi topik penelitian yang menarik bagi mahasiswa. Terutama bagi yang S1. Apa perkembangan dan dampak sosio-ekonomi dari Nagarimart? Harapan saya, semoga hasilnya bagus bagi rakyat Sumbar. Jangan sampai sebaliknya! Justru ini jadi suatu tantangan bagi pegiatnya. Saya hanya sekedar mengingatkan saja. Tidak lengah. Jangan kasih kendor pokoknya!
Nah, sekarang kita coba intip. Seperti apakah kira-kira kompleksitas permasalahan yang akan dihadapi ke depannya? Seperti apakah model leader yang dibutuhkan nantinya? Apakah seperti salah satu dari model yang sudah memimpin di atas? Atau, gabungan gaya kepemimpinan dari mereka?
Sabar! Tunggulah dulu! Masih ada 2 tantangan ke depan lagi yang perlu kita bahas. Hanya sekedar bayangan saja! Silahkan juga dikembangkan yang lainnya.
Pertama, efek dari perkembangan dari Jalan Toll Trans Sumatera (JTTS). Kemungkinan nantinya dilanjutkan dengan tersambungnya dengan daratan Semenanjung Malaya. Saya coba bayangkan efek dari pembangunan JTTS. Pasti menarik bagi negara tetangga untuk menikmati pertumbuhan di kawasan Sumatera – Semenanjung Malaka – Singapura. Coba juga anda bayangkan, di antara dua kota yang disenggol ruas JTTs itu nanti ada semacam industrial estate seperti di kiri-kanan jalan jalan toll Jakarta – Cikampek. Sekalian juga dengan kota barunya seperti Cikarang, Tambun, dsb. Hal yang sama nantinya juga akan dialami oleh sekitar JTTS itu.
Bisa jadi nanti Darmasraya menjadi maju daerahnya sebagai efek pertumbuhan ekonomi dari JTTS itu. Jika toll penguhubung antar daerah terealisasi, pusat ekonomi Sumbar kemungkinan bisa bergeser. Hasil industri di sekitar JTTS tinggal ditarik saja ke pantai timur Sumatera. Banyak pelabuhan di sana. Lebih dekat ke negeri jiran, wilayah timur Indonesia dan bahkan negeri di belahan utara lainnya. Lalu, itu Pelabuhan Teluk Bayur mau diapakan nanti? Tinggal untuk dikenang?
Kedua, efek dari disruptive yang semakin kencang bergulirnya, yang tidak bisa diperlambat bahkan dihentikan sama sekali. Ini konsekuensinya merubah tatanan di segala sektor kehidupan. Pemimpin yang memble, dia tidak akan tahu kalau perubahan jaman yang semakin cepat menggilas nasib rakyatnya. Untuk menghadapi era disruptive ini dibutuhkan disruptive leader, yaitu para pemimpin yang berhasil membawa keluar organisasi yang dipimpin dari perangkap masa lalu dan mendisrupsi organisasi menjadi sehat.
Jangan sampai segalanya dianggap masih so far so good. Aman-aman saja. Lapan anam. Sementara orang lain semakin efisien dan produktif. Segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dipakai. Jangan sampai Sumbar malah semakin sibuk dengan pekerjaan manual dengan senang dan bahagia merekrut pegawai yang rendah dalam produktifitas dan rawan dalam integritas.
Jadi, selama 1 periode Sumbar dipegang oleh Zainal Bakar dan Gamawan Fauzi dari Partai Demokrat, lalu dua periode dipegang PKS di masa Irwan Prayitno dan berlanjut ke Mahyeldi untuk yang ketiganya, beberapa hal yang bisa saya simpulkan, Saya melihat, cara pandang orang Sumbar dalam mencari pemimpin sekarang sepertinya sudah bergeser ke tampilan fisik simbol religious tertentu, seperti “khotbah” dan “kopiah”.
Saya juga melihat, orang Sumbar belum begitu sadar dan melek soal kinerja. Kalau belum punya KPI dasboard dsb, kan masih bisa secara rutin release via website Pemprov. Lalu serahkan saja ke media bagaimana “menjual” image kinerja itu ke publik (Sumbar).
Kalau dilihat dari beberapa pemberitaan foto, sepertinya “public speaking” gubernur sekarang ini soal kinerja “pembangunan” yang masih kurang. Hal-hal “sosial elok budi dan spiritual” terlalu ditonjolkan ke publik. Boleh dikata, hal demikian lebih mendapat porsi yang lebih besar. Seharusnya lebih lebih banyak berbuat yang real untuk disampaikan ke publik. Saya sangat setuju, pemimpin yang religious itu mutlak untuk Sumbar. Tetapi, harus berimbanglah dengan kemampuan manajerial dan visi pembangunan ke depannya.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ke depannya oleh para stakeholder Minangkabau. Baik yang di ranah maupun yang di rantau. Sumbar memang perlu figure yang baru dan segar. Ke depannya semakin menantang. Propinsi lain semakin bergerak untuk maju. Kalau saya lebih suka yang baru, muda dan menggebrak. Kalau yang model diam-diam saja ya tidak mainlah itu.
Pemimpin yang masih mempertahankan gaya lama akan tertinggal atau ditinggalkan. Seperti apakah ciri ciri pemimpin di era disruptive? Lebih kerennya, ya pemimpin di era 4.0 saat ini. Tidak terlalu macam-macam modelnya. Sederhana saja. Kira-kira beginilah orangnya. 1. Berpikiran terbuka dan fair, mampu menyampaikan dan menjelaskan visi serta sasaran yang akan dicapai untuk meraih hasil kerja maksimal. 2 Sebagai konseptor, kreator, dan motivator yang baik untuk rakyat yang dipimpinnya. Bukan ingin menjadi orang hebat sendiri. 3. Berani mengambil keputusan dengan cepat dan tepat dengan perencanaan yang detail dan bermanfaat. Tentu ini harus didukung dengan penguasaan dan pemanfaatan sistem manajemen dalam pemerintahannya supaya tercapai visi, misi, serta nilai-nilai daerahnya, 4. Berani melakukan terobosan demi efisiensi dan produktifitas ke depannya. 5. Tidak pernah merasa selalu dalam zona nyaman atau comfort zone, berpikir, apalagi yang terbaik diberikan ke rakyatnya.
Semua item kepemimpinan tersebut masih standard-standard saja sih saya pikir. Tidak ada sesuatu yang spektakuler. Semua yang merasa leader pasti bisa melakoninya. Syaratnya, asal mau berusaha. Orang-orang bilang bekerja dengan smart tentunya.
Jelas sudah, Sumbar jangan bermimpi lagi untuk mendapatkan pemimpin seperti masa-masa dulu. Masa-msa indahnya pemimpin Minang berkontribusi besar di pentas politik bangsa ini. Setiap masa ada pemimpinnya. Biarlah kinerja Zainal Bakar, Gamawan Fauzi, Indra Prayitno menjadi lembaran sejarah bagi Sumbar. Tinggal dikenang dan diambil pelajarannya. Tidak bisa memaksakan model pemimpin dulu untuk masa sekarang. Sumbar sekarang hanya butuh pemimpin yang bisa memanfaatkan peluang dan tantangan pembangunan ke depan untuk kemajuan Sumbar. Bukan pemimpin yang hanya fokus melihat bagaimana mengamankan kekuasaan pentingan golongannya.
Terakhir, “Mengapa Sumbar (tidak) Perlu Visionary Leader?” Maka, hanya rakyat Sumbar lah yang semestinya lebih bisa menjawabnya. Bukan saya. Masih ada waktu juga bagi Mahyeldi untuk membuktikannya. Semoga Sumbar berkontribusi besar dalam pembangunan negeri ini. Dengan segala potensi yang dimilikinya. Tentu, dengan leader yang dipilihnya. Hanya waktu jua lah yang akan menjawabnya.
Penulis: Erkata Yandri