
Photo: TEMPO
Di penghujung tahun kedua Kabinet Indonesia Bersatu dua (KIB II), issue reshuffle menghangat kembali. Bahkan, desakan reshuffle sekarang jauh lebih kencang dibanding dengan enam bulan lalu. Kinerja tetap menjadi sorotan utama, disamping faktor lain seperti dugaan keterlibatan korupsi dan masalah pribadi.
Sebenarnya, kualitas dari KIB II sudah terbaca sejak dari awal. Ingatlah, betapa susahnya para menteri tersebut membuat program 100 hari. Hasilnya, terkesan seadanya dan tanpa greget. Tidak menunjukkan bahwa itu dibuat oleh menteri. President Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kelihatannya saja memasang gaya serius, tetapi dia tidak jelas dan tegas dalam hal menindak-lanjutinya. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa betapa lemahnya dia dalam hal manajerial maupun teknikal.
Menteri yang selalu mendapat nilai merah dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), adalah Darwin Zahedy Shaleh (DZS), menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM). Masyarakat juga menilai bahwa DZS tidak bekerja optimal, sehingga dia selalu masuk dalam daftar reshuffle.
Salah Apa Dengan Darwin?
Dalam hal ini, ada dua kesalahan yang dibuat oleh DZS.
Pertama, tidak tahu bagaimana mempublikasikan kinerja. Padahal, itu dengan mudah bisa dilakukannya di situs ESDM. Ada beberapa kemungkinan, mengapa itu tidak dilakukannya, seperti; tidak tahu kinerja seperti apa yang dituntut, tidak kreatif dalam hal melaporkan, belum ada keberanian untuk memaparkan kinerja secara terbuka, belum ada kebutuhan dan tuntutan dari president, dan sebagainya. Dia sudah terkunci dengan masalah terkini, atau sudah terjebak sebagai pemadam api, yang kenyataannya tidak bisa dipadamkan oleh dirinya sendiri.
Selain itu, kinerjanya masih bisa dilihat dari ada atau tidaknya perubahan budaya kerja di ESDM. Maksudnya, budaya kerja yang semakin efektif, produktif, dan efisien dengan parameter yang terukur jelas, baik kuantitas maupun waktu. Tentu, perubahan itu juga harus dirasakan oleh internal maupun eksternal ESDM. Untuk itu, diperlukan management style yang kuat. Pertanyaannya, ”Selama dua tahun bertugas, apakah DZS sudah berkontribusi dalam melakukan perubahan budaya di ESDM?
Kedua, DZS tidak tanggap dan cekatan dalam menangani masalah energi terkini, seperti tidak efektifnya penyelesaian BBM bersubsidi, ragu-ragu memutuskan rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan lainnya. Dia pun tidak begitu sensitif dengan isu yang berpotensi meledak di masa depan seperti keamanan energi, mencakup pencapaian target bauran energi fossil dan terbarukan. Masalahnya terletak pada lemahnya visi energi, menyebabkan melempemnya strategi implementasi.
Tantangan Indonesia di masa depan adalah kebutuhan energi, yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan cadangan sumber energi fossil semakin menurun, dan akan segera habis seperti minyak bumi. Sulitnya menciptakan budaya penghematan energi dan eksplorasi energi terbarukan, akan menjadi malapetaka bagi generasi masa datang. Itulah akibat dari kebijakan energi yang dibuat sekarang ini.
Sosok MESDM Idaman
Sebenarnya, tidaklah susah menjadi seorang MESDM. Segala apa yang akan dikerjakan dan dicita-citakan, sudah tertuang di visi, misi dan fungsi ESDM, tentunya dengan arahan jelas pada cetak biru dan peta jalan energi nasional. Sekarang, bagaimana seorang MESDM menjalankannya dan mewujudkannya. Namun, ada tiga hal yang harus dipunyai oleh MESDM untuk menjaminkan kesuksesannya.
Pertama, MESDM harus mempunyai visi energi yang brilliant, mampu melihat masa depan persoalan energi, namun juga mampu menyelesaikan masalah energi saat ini dengan jernih. Tentu, dengan visinya itu, dia harus mampu menjalankan seluruh tugas. Dia harus mampu mengukur pencapaian bawahannya, didukung dengan action plan yang realistis dan terukur. MESDM harus lebih tanggap dan sensitif dengan issue energi, mampu mengantisipasi permasalahan energi yang semakin rumit, sekarang dan akan datang.
Kedua, seorang MESDM harus mempunyai management style yang kuat. Dia harus mampu melakukan perubahan dengan cepat dan tepat, seperti reformasi birokrasi, dsb. Dengan 3 tahun lagi sisa, MESDM haruslah bekerja lebih fokus, efektif, dan produktif, memantau dan mengawasi departement lebih ketat lagi. Semua harus ditunjang dengan kemampuan komunikasi dan koordinasi yang baik. Maka, berkoordinasi dengan menteri lain harus lebih ditingkatkan. Untuk itu, ”customer satisfaction” dari departemen/instansi terkait harus diukur untuk evaluasi.
Ketiga, seorang MESDM harus berani memaparkan kinerjanya secara terbuka ke publik. Tentulah, aturan-aturan mengenai kinerja harus ditaati, baik vertikal maupun horizontal. Jika situs ESDM bisa lebih dioptimalkan dengan menyampaikan kinerja secara berkala, maka pemahaman dan penilaian terhadap MESDM akan lebih fair, disamping juga untuk motivasi internal ESDM.
Dua tahun adalah sudah lebih dari cukup untuk menilai. Silahkan saja diganti jika memang tidak berprestasi, tetapi jangan pula dipertahankan jika memang tidak berkemampuan. Wajah baru pun belum tentu akan lebih baik dari yang lama, tetapi wajah lama pun belum tentu akan merubah keadaan lebih cepat, karena adaptasi. Janganlah salah dan terlambat dalam mengambil keputusan. Hanya SBY orangnya yang paling tahu alasannya mengapa DZS (tidak) harus diganti.
Penulis: Erkata Yandri, periset pada Solar Energy Research Group, Dept. Vehicle System Engineering, Faculty of Creative Engineering, Kanagawa Institute of Technology – Japan.