Teka-teki reshuffle di ESDM akhirnya terjawab sudah. SBY telah memutuskan Jero Wacik; seorang mantan profesional, politisi, dan terakhir sebagai Menbudpar, dan Widjajono Partowidagdo; seorang anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga guru besar perminyakan, sebagai menteri dan wakil menteri ESDM.
Bagi rakyat, ada atau tidak ada reshuffle, ada atau tidak ada wakil, atau mau siapapun orangnya, sama saja karena tuntutannya tetap sama dan tidak muluk-muluk. Yang terpenting bagi mereka adalah akses energi yang semakin mudah dengan harga yang relatif terjangkau. Tentu, bagi pemerintah targetnya tidak untuk memenuhi itu saja, tetapi bagaimana menghadapi tantangan yang lebih berat lagi yaitu mewujudkan ketahanan energi (energy security).
Memahami Visi SBY
Sebenarnya, jika mau jujur, yang harus diutamakan di Kementerian ESDM itu pergantian menteri, bukanlah ke penambahan (posisi) wakil menteri. Tetapi baiklah, tidak ada gunanya lagi mempermasalahkan reshuffle yang sudah diputuskan SBY itu, karena sudah jelas hak prerogatifnya sebagai Presiden. Namun, tidak ada salahnya pula menganalisa apa kira-kira yang terlintas di benak SBY dan orang kepercayaannya mengenai energi, paling tidak untuk 3 tahun sisa pemerintahannya.
Tanpa meremehkan pengalaman Jero Wacik, maka pengangkatan dirinya itu menyiratkan bahwa SBY menganggap ESDM adalah departemen yang cukup krusial di mata rakyat, juga dipandang bernilai strategis, politis, dan ekonomis. Makanya, dia lebih percaya dengan kadar asli dari Partai Demokrat (PD) sendiri, walaupun dia sadari menteri yang bersangkutan tidak mempunyai rekam jejak di ESDM sekalipun. Padahal, kalau mau jujur, sosok MESDM yang dibutuhkan sekarang ini adalah yang lebih cepat dan lebih berani menggebrak. Karakter Jero mungkin tidak jauh beda dengan Darwin yang digantikannya. Mungkin juga SBY lebih yakin bahwa yang dibutuhkan pada level menteri lebih kepada kepemimpinan dan manajemen, bukan teknis. Tanpa terlalu membesar-besarkan prestasi Dahlan Iskan yang cukup singkat, tetapi mungkin ESDM lebih pas jika dipimpin oleh mantan Dirut PLN tersebut.
Untuk mengimbanginya, SBY mengangkat wamen yang dianggapnya lebih memahami masalah teknis energi nasional saat ini. Terlepas perlu atau tidaknya jabatan wamen ESDM, ataupun mempermasalahkan asalnya dari karir ataupun non karir lingkungan ESDM, dengan tanpa mengecilkan kapasitas Widjajono, maka figur wamen haruslah memiliki pengalaman lapangan yang cukup dan kecepatan dalam bertindak. Dengan adanya wamen ini, sepertinya SBY berharap bahwa urusan energi pasti sudah akan beres. Ini menguatkan indikasi bahwa SBY ingin lebih memprioritaskan masalah pengamanan pencapaian lifting minyak mentah dengan harapan pemerintahannya berakhir nanti dengan citra yang bagus di sektor energi. Untuk mengingatkan, Darwin terjungkal dari kursi MESDM karena dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah target lifting, disamping masalah subsidi BBM pun dia dianggap sangat ragu-ragu dan tidak berani.
Jadi, dengan formasi politisi-akademisi sekarang ini, tentu berat dugaan bahwa orientasi kebijakan Jero-Jono akan lebih mengarah kepada mengamankan pencapaian target lifting 970.000 barel per hari (BPH). Sekedar acuan, realisasi sampai Mei 2011 adalah sekitar 906.000 BPH, sementara konsumsinya sudah semakin menjauhi angka produksinya. Amat disayangkan jika seandainya dalam 3 tahun ke depan, Jero-Jono tidak menyeimbangan usahanya di aplikasi energi terbarukan ataupun bagaimana mengefisienkan konsumsi energi nasional agar beban ke energi fossil itu bisa diredam.
Menunggu Gebrakan
Pertanyaannya sekarang, ”Mampukah Duo Jero-Jono tersebut mewujudkan apa yang yang diharapkan oleh SBY sampai habis sisa pemerintahannya? Di sini, taruhannya bukan saja citra SBY itu sendiri, tetapi juga nama PD dan tentu juga nama Jero-Jono sendiri. Tidak ada jawaban lain, selain ”harus mampu dan harus optimis”. Inilah tantangan buat mereka berdua. Oleh karena itu, jangan main-main atau berleha-leha terlalu lama dengan harus cepat menyesuaikan diri. Mereka harus segera ”tune-in” untuk segera menunjukkan gebrakannya. Begitu banyak masalah yang membutuhkan banyak waktu yang harus cepat dan segera diselesaikan. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Pertama, SBY dari awal sudah harus menjelaskan ekspektasinya kepada pembantunya tersebut mengenai evaluasi pencapaian kinerja, lengkap dengan parameternya. Hal ini tidak saja untuk kejelasan fokus kerja Jero-Jono dan pendelegasian sampai ke bawah, tetapi juga akan memberikan kejelasan dan kemudahan bagi UKP4 dalam melakukan tugas evaluasinya. Intinya, evaluasi akan lebih fair dan tercapai tujuannya untuk perbaikan ke depan. Tentu akan lebih baik lagi jika SBY lebih terbuka menyampaikan parameter evaluasi tersebut ke publik agar publik juga tahu.
Kedua, Jero-Jono harus segera melakukan efektifitas kerja dengan pembagian kewenangan yang jelas. Mereka akan lebih leluasa bertindak dan menggebrak jika dari awal sudah jelas pembagian tugas dan wewenang antara mereka. Hal ini penting sekali bagi wamen yang berkejaran dengan waktu, agar cepat dan lincah bergerak karena harapan pencapaian target lifting lebih ditujukan kepadanya. Wamen mesti diberi kesempatan membuktikan kinerjanya segera, sebelum nanti disorot oleh banyak pihak yang pasti akan semakin menambah efek tekanan psikologis.
Ketiga, agar greget pasangan ini lebih kelihatan yang sangat ditunggu oleh banyak pihak, maka Jero-Jono harus segera menunjukkan ”early result” sebagai hiburan sebelum orang frustasi menunggu ”long term result” yang memang butuh waktu lebih lama. Dengan baru sebulanan menjabat, tentu masih bisa dipahami. Tetapi, jangan sampai kalau sudah lebih dari tiga bulanan masih belum ada apa-apanya. Jangan sampai semua pihak terlalu lama menunggu dan akhirnya terburu dingin. Selesaikanlah satu-dua terobosan besar yang terkait dengan permasalahan utama sektor ESDM, misalkan pengendalian BBM subsidi, penyesuaian harga BBM ataupun kepastian perihal kebijakan pembatasan BBM, peningkatan produksi minyak mentah, renegosiasi kontrak migas dan tambang. Jika sudah kelihatan geliatnya, tentu itu sesuatu yang positif.
Keempat, mengingat minyak adalah sumber energi yang tidak terbarukan, maka janganlah pernah mengenyampingkan aplikasi energi terbarukan (ET) dan juga program efisiensi energi (EE). Namun begitu, janganlah Jero-Jono sampai termakan oleh produsen teknologi EE dan ET dengan memanfaatkan permasalahan energi di Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar empuknya. Ingatlah, potensi ET dan EE Indonesia sangatlah besar. Cobalah wujudkan peluang untuk bagaimana mengembangkan industri ET dan EE yang diharapkan mampu membuka lapangan kerja atau menyerap tenaga kerja, sebagaimana yang sudah dibuktikan oleh beberapa negara maju seperti Jerman dan negara Eropa lainnya. Sebagai contoh, rencana pemakaian sel surya untuk mall dan gedung tinggi lainnya, haruslah dikaji mendalam dengan mengajak kementrian terkait lainnya, seperti Perindustrian, Ristek, BKPM, dsb, untuk mengembangkan industri sel surya di Indonesia. Sekedar gambaran, First Solar (AS), Q-Cells (Jerman) dan Sun Power (AS), sudah mulai mendirikan pabrik manufaktur di Malaysia, dengan total investasi RM 12 miliar dan lebih dari 2GW kapasitas produksi. Setelah sepenuhnya beroperasi, pabrik-pabrik tersebut akan mampu memberikan 11.000 lapangan kerja. Malaysia juga akan menempati peringkat 6 besar di dunia dalam produksi sel surya dan modul. Mungkin Indonesia dijadikan salah satu pasar sel surya oleh negeri jiran tersebut.
Terakhir, apakah Duo Jero-Jono cukup mampu membawa perbaikan dalam masalah energi Indonesia? Inilah saatnya bagi mereka untuk menjawab tantangan dan menepis skeptisme orang-orang. Kita tunggu saja gebrakannya dan tentu waktulah yang akan membuktikannya. Selamat bekerja Duo Jero-Jono!
Penulis: Erkata Yandri, periset pada Solar Energy Research Group, Dept. Vehicle System Engineering, Faculty of Creative Engineering, Kanagawa Institute of Technology – Japan.
https://koran.tempo.co/read/opini/255092/menanti-gebrakan-duo-jero-jono