Setelah terpental dalam mengajukan ke DPR rencana menaikkan harga BBM, ditambah lagi dengan sinyal penolakan kenaikan TDL dan pembatasan BBM bersubsidi untuk mobil pribadi, akhirnya pemerintah banting stir ke langkah penghematan energi, yang sasarannya internal pemerintah sendiri. Mungkin ini bagian dari sosialisasi Inpres No.13/2011, tentang penghematan energi. Sebelumnya, pemerintah sudah pernah melakukannya tahun 2005 dan 2008 dengan mengeluarkan Inpres No.10/2005 dan Inpres No.2/2008. Hasilnya, pemerintah mengklaim telah sukses menghemat listrik dan air hingga 20%.
Pemerintah sudah menyiapkan 5 jurusnya yang dimulai 1 Juni ini. Pertama, melarang kendaraan dinas pemerintah menggunakan BBM bersubsidi. Kedua, melarang kendaraan untuk di pertambangan dan di perkebunan menggunakan bbm bersubsidi. Ketiga, menjalankan konversi dari BBM ke BBG. Keempat, melarang PLN membangun pembangkit baru yang berbasiskan BBM, kecuali batubara, gas, geothermal, atau PLTA. Kelima, menghemat listrik di gedung-gedung pemerintah, BUMN, dan rumah pejabat.
Bukannya skeptis maupun pesimis, dengan target penghematan 5-6 juta kiloliter (KL) untuk BBM dan 20% untuk konsumsi listrik, yang mengandalkan lingkup pemerintah saja, diragukan kontribusinya kalau untuk menyelamatkan anggaran negara. Walaupun lumayan dari mengurangi konsumsi BBM PLN, tetapi kita semua sudah tahu betapa susahnya PLN mendapat pasokan gas. Sekedar gambaran, total belanja energi primer PLN tahun 2009 saja adalah 76,24 T dengan alokasi pembelian BBM sebesar 47,97 T atau 64%.
Pola ”on-off” dan ”temperature control” yang fokus ke AC seperti yang diancar-ancar pemerintah, penghematan listriknya paling 5-10 persen saja. Dengan modal kampanye penghematan energi saja, itu sudah beres. Jika langsung action, hasilnya bisa langsung kelihatan. Tidak harus menunggu sampai 3 bulan untuk memetik hasilnya. Murah, gampang dan cepat! Nah, kalau berharap lebih dari 20%, tentu itu sudah dengan memeras otak dan memeras keringat ekstra, dibumbui dengan kreatifitas dan antusias.
Dalam APBN-P 2012 disetujui 225 T untuk subsidi energi, yaitu BBM 137 T, listrik 65 T, dan sisanya untuk cadangan risiko fiskal. Dengan meningkatnya pola penggunaan listrik dan sulitnya mengendalikan konsumsi BBM yang mungkin sukses melewati kuota 40 juta KL, maka diprediksi subsidi energi bisa melebihi 340 T atau melonjak lebih dari 100 T dibanding 2011 lalu.
Jadi, apa sebenarnya yang diharapkan pemerintah dari rencana penghematan energi sekarang ini? Mampukah menyelamatkan anggaran negara?
Tak Bernyali Lagi
Walaupun sudah punya dua pengalaman, kenyataan pemerintah masih meraba-raba dan mencari bentuk yang pas dalam menjalankan programnya. Kurang terlihat adanya semacam proses pembelajaran (learning curve) dari pengalaman sebelumnya. Bisa saja dianggap pemerintah tidak pernah serius menjalankan program penghematan energi. Program penghematan energi selama ini tidak dianggap penting, kesannya asal ada saja.
Sedikit naif, mungkin bisa dipahami alasan pemerintah berhemat, yaitu tidak ingin anggarannya jebol sebagai akibat penundaan kenaikan TDL maupun harga BBM. Efeknya, ada kemungkinan pemerintah berpikiran memangkas belanja infrastruktur. Artinya, ada kemungkinan sebagian masyarakat Indonesia dikorbankan akibatt keputusan politis Senayan yang lalu. Bagaimanapun juga, masyarakat miskin tetap membutuhkan akses jalan, kesehatan, listrik, dsb, yang terancam terabaikan, tetapi lebih dinikmati oleh masyarakat mampu di perkotaan dalam bentuk subsidi BBM dan listrik. Inilah yang ditakutkan.
Dalam kondisi begini, sebaiknya penundaan itu bisa dimanfaatkan terutama oleh industri untuk menggencarkan program efisiensi energi, yang seharusnya dimotori oleh pemerintah. Sayangnya, itu pun tidak begitu kelihatan gregetnya. Maka, syah-syah saja jika dianggap bahwa yang menjadi tujuan pemerintah sebenarnya adalah ”uang” dari penghematan yang tidak banyak itu, bukanlah ”budaya” penghematan energi. Tanpa budaya itu, konsumsi energi ke depannya akan lebih sulit dikendalikan. Adanya budaya penghematan energi tentu akan lebih memudahkan pemerintah dalam mengontrol laju konsumsi energi.
Maka, dari sekarang sudah bisa diprediksi, untuk jangka pendek betapa ketar-ketirnya pemerintah dalam mencukupi konsumsi energi nasional, sedangkan jangka panjangnya betapa semakin pusingnya pemerintah dalam menyikapi gejolak kenaikan harga minyak dengan semakin menipisnya produksi minyak, belum kuatnya infrastruktur migas, lambatnya diversifkasi energi seperti ke energi terbarukan, dsb.
Pertanyaannya, mengapa hanya penghematan sempit begitu yang akan dilakukan pemerintah? Mungkinkah pemerintah sudah tidak punya nyali lagi dalam mengajukan kebijakan energi ke DPR karena takut menjadi bulan-bulanan dengan resiko politiknya cukup besar?
Membudayakan Hemat Energi
Untuk membudayakan penghematan energi, maka cara yang patut dipertimbangkan adalah menjalankannya dengan sistem yang jelas. Dalam konsep manajemen produktifitas, ada pemahaman bahwa buruknya perilaku disebabkan oleh buruknya kontrol, sementara buruknya kontrol mencerminkan buruknya sistem. Jadi, untuk merubahnya, lakukanlah dengan sistem yang benar. Dengan kata lain, tanpa sistem, jangan pernah berpikiran mudah dalam membudayakan penghematan energi.
Sistem akan membuat lebih fokus ke sasaran, rencana, realisasi, lengkap dengan pengukuran dan pelaporan dengan garis akuntabilitas yang jelas. Di sini, pencapaian penghematan bisa dijadikan suatu key performance indicator (KPI) berdasarkan evaluasi penghematan (saving evaluation) dengan alat ukur (base measurement) yang jelas, yang diambil dari pembacaan data (meter reading) yang akurat. Di jaman internet seperti ini, kemajuannya bisa dilaporkan ke publik secara rutin lewat situs resmi instansinya masing-masing.
Seluruh aparat pemerintah harus menunjukkan commitmentnya dengan memberikan contoh nyata dengan konsisten dan persisten, tanpa takut atau ragu dengan kritikan atau cemoohan. Memang sudah seharusnya mereka menjadi teladan bagi masyarakat dalam gerakan penghematan energi. Yang jelas, pemerintah harus kompak dalam hal niat dan implementasi pengendalian BBM bersubsidi dan penghematan listrik ini. Bagi atasan, lupakan dulu gaya ”ngeboss” dengan hanya mengejar tagihan energi setiap bulannya ke anak bawah karena itu hanya akan memicu akal-akalan atau ”asal bapak senang”. Penghematan energi yang sustainable dan significant hanya akan tercapai jika dari atas sampai ke bawah benar-benar berpikir dan bertindak nyata.
Tentu, berhemat energi harus pula diimbangi dengan perbaikan kinerja yang semakin produktif dan efisien. Intinya, bagaimana meningkatkan pelayanan, output dan profit (BUMN), yang akhirnya menekan input sumber daya manusia maupun energi. Jauhkan dulu pikiran dari usulan dibentuknya inspektorat khusus untuk mengawasi penghematan energi. Optimalkanlah segala resources yang ada untuk prestasi maksimal. Penghematan harus dilakukan tanpa membuat para pegawai tidak produktif dalam bekerja.
Harus dipikirkan agar lembur bisa ditekan seminimal mungkin. Kalaupun ada mindset bahwa lembur adalah salah satu lahan untuk menambah penghasilan ataupun mencari perhatian, maka sudah saatnya itu dihilangkan. Lembur sudah waktunya dianggap ”tabu”. Di sinilah tantangannya, bagaimana konsumsi energi ditekan seminimal mungkin, tanpa menyebabkan menurunnya kinerja.
Suksesnya program penghematan, ditantang dengan semangat kreatifitas dan inovasi. Hal ini akan tercipta jika sistem evaluasi berjalan dengan benar. Namun, jangan sampai pula nanti terlalu kreatif dan terlalu inovatif yang salah tafsir untuk menguras anggaran di pos yang lain dengan alasan study banding hemat energi ke luar negeri, seperti yang sering dicontohkan oleh ”tetangga sebelah”.
Sekedar mengingatkan, saat ini ada beberapa instansi pemerintah yang proaktif melirik aplikasi sel surya untuk menghasilkan energi listrik. Ini tentu segera dibaca sebagai sinyal peluang bisnis yang menggiurkan bagi para pemasok. Maka, harus berhati-hati agar jangan sampai hal ini menjadi masalah korupsi nantinya. Kasihanilah KPK yang mungkin akan semakin bertumpuk pekerjaannya.
Terakhir, serius atau tidaknya pemerintah menjalankan program penghematan energi, tergantung dari kesadaran dan kepercayaan menjalankannya dengan sistem. Selagi masih serabutan dan acak-acakan, jangan pernah berharap budaya penghematan energi akan mengakar di negeri ini. Maka, sekaranglah saatnya pemerintah membuktikan commitment dan mendidik rakyatnya dengan mencontohkan bagaimana seharusnya penghematan energi, bukan dengan akal-akalan ataupun maksud pencitraan menyongsong 2014.
rkata Yandri
, konsultan manajemen produktifitas industri dan energi, alumni University of Oldenburg – Jerman.