Jujur saja, sampai dengan tahun 2009, PLN masih kewalahan dalam menenuhi misi kelistrikannya. Salah satu indikatornya adalah frekuensi mati listrik. Kejadian mati lampu bergilir di beberapa wilayah di Indonesia, tentu masih teringat dan dirasakan oleh pelanggannya. Akibatnya, secara nasional kita mengalami kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi PLN yang kehilangan pendapatan penjualan energi listrik maupun dari sisi pelanggan yang kehilangan peluang untuk menghasilkan barang dan jasa. Kerugian pelanggan semakin membengkak lagi akibat kerusakan mesin atau peralatan listrik dan barang produksi akibat padam dan matinya listrik secara tiba-tiba. Kerugian tersebut semakin lengkap dengan kemungkinan menurunnya kepercayaan asing berinvestasi di Indonesia.
Indikator berikutnya adalah rasio elektrifikasi. Berdasarkan data International Energy Agency tahun 2008, rasio elektrifikasi Indonesia adalah 64,5%. Rasio ini di bawah rata-rata ASEAN yaitu 71,4%, kalah jauh dari Malaysia yang mencapai 99,4%. Artinya, ada 35% rumah tangga atau 81,1 juta jiwa di Indonesia yang belum menikmati listrik, yang tersebar di daerah pedalaman, perbatasan, pesisir pantai, dan pulau terpencil yang belum terjangkau oleh PLN. Beberapa daerah terpencil lainnya ada yang sudah merasakan listrik dengan pemanfaatan energi terbarukan, misalnya energi surya (solar cell) dan energi air kecil (micro hydro power) atas bantuan pemerintah maupun asing ataupun swadaya. Inilah tantangan pembangunan nasional kita!
Ada apa dengan PLN kita ?
Sebagai perusahaan listrik milik negara yang ditugaskan untuk mendapat keuntungan dan juga mewajibkan melayani seluruh lapisan masyarakat Indonesia, status PLN saat ini sebenarnya sudah kewalahan. Sebelum masa krisis 1997, PLN masih mendapat keuntungan dari kebijakan subsidi bahan bakar dan subsidi silang yang besar antar pelanggan. Setelah tahun 1997, PLN mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang dan ditambah lagi dengan kewajiban melayani masyarakat yang pendapatannya di bawah biaya pokok penyediaan (BPP).
Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, dalam kurun kurun waktu 1996 – 2006, sebenarnya kapasitas terpasang PLN meningkat 1,5 kali lipat, dari 16,1 GW tahun 1996 menjadi 24,8 GW tahun 2006. Namun, daya tersambung juga meningkat 1,8 kali lipat, yaitu dari 30,5 GW di tahun 1996 menjadi 53,3 GW di tahun 2006. Sehingga, rasio kapasitas-tersambung semakin menurun dari 0,53 di tahun 1996 menjadi 0,47 di tahun 2006. Tahun 1998, rasio ini pernah mencapai 0,57 dan cenderung turun dari tahun ke tahun. Hampir 73% daya tersambung itu diperuntukkan bagi pelanggan di Jawa yang luasnya hanya 6,7% saja dari seluruh luas daratan Indonesia, tetapi penduduknya hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia (Data Statistik Indonesia Tahun 2005). Artinya, pertumbuhan permintaan sambungan daya tidak proporsional dengan pertumbuhan kapasitas kelistrikan dan wilayah.
Selanjutnya, sampai dengan tahun 2006, lebih dari 93% daya tersambung itu diperuntukkan bagi pelanggan rumah tangga (26,1 GW), industri (13,3 GW), dan bisnis (10,3 GW), sedangkan sisanya tersambung untuk sosial dan gedung pemerintahan. Menariknya, permintaan sambungan rumah tangga dan bisnis hampir 2,0 dan 2,3 kali lipat, dibanding industri yang hanya 1,2 kali. Kemungkinan ini karena beberapa industri sudah mampu membuat pembangkit sendiri dengan alasan efisiensi dan keamanan pasokan listrik dan juga pilihan membeli listrik dari perusahaan swasta di suatu kawasan industri.
Kemudian, dari sisi pembangkit tenaga listrik, energi terbarukan yang terdiri dari PLTA (hydro power) dan PLTPB (geothermal) semakin menyusut komposisinya dari 21,2% di tahun 1996 menjadi 15,8% di tahun 2006. Hal itu seiring dengan pesatnya pembangunan pembangkit konvensional termal yang berbahan bakar batubara dan gas. Tentu, komposisi ini akan berubah lagi dengan selesainya proyek 10.000 MW yang sedang dikerjakan dan didominasi oleh pembangkit konvensional termal.
Perlu disadari, kita, semua kelompok pelanggan PLN menerima subsidi listrik. Berdasarkan data Subsidi Listrik/PSO Tahun 2008, BPP rata-rata adalah Rp. 1.271,04/kWh dengan pendapatan Rp. 653,85/kWh, selisih angka itulah merupakan subsidi rata-rata sebesar Rp. 616,66/kWh. Sehingga, subsidi listrik tahun 2008 berjumlah 78,7 triliun rupiah. Sekitar 56,6% dinikmati oleh pelanggan rumah tangga, 27,9% oleh industri, hampir 8,9% oleh bisnis dan sisanya oleh kelompok sosial dan umum. Untuk sub kelompok rumah tangga, semakin besar listrik kapasitas listrik terpasangnya semakin kecil subsidi yang dihabiskannya, untuk sub kelompok bisnis dan industri malah sebaliknya.
Apa yang harus kita lakukan?
Masalah kelistrikan di Indonesia memang ketat, artinya masih banyak yang harus dikejar dan diperbuat dalam waktu singkat. Semua masalah itu tidak bisa ditumpukkan PLN semata. Semua pihak harus terlibat, mulai dari pemerintah, pelanggan, perbankan, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, memang sudah tepat mengaplikasikan energi terbarukan seperti energi surya, bayu, dan biodiesel untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh PLN. Lebih tepat lagi jika teknologi tersebut dibuat di dalam negeri dan dibeli oleh pemerintah tanpa harus menunggu bantuan asing yang membawa teknologi mereka sendiri. Sudah banyak karya anak bangsa dalam energi terbarukan, seperti pemanfaatan gelombang laut sistem bandulan yang sudah diciptakan oleh seorang pegawai PLN dan tinggal menunggu keseriusan pemerintah untuk membantu pengembangannya.
Salah satu cara untuk mempercepat pemerataan pembangunan di luar Jawa adalah dengan mempercepat pembangunan infrastruktur kelistrikannya. Di luar Jawa justru lebih mudah karena didukung oleh tersedianya sumber energi yang melimpah, baik energi fosil maupun energi terbarukan. Lebih baik terlambat daripada membiarkan Jawa semakin berat menanggung beban lingkungan dan sosial.
Subsidi listrik memang perlu, tetapi tidak untuk semuanya dan tidak untuk selamanya karena membebankan negara dan tidak mendidik. Ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi beban subsidi tersebut.
Pertama adalah meminta PLN untuk melakukan efisiensi di segala lini sehingga mampu menekan BPP. Dengan semakin bertambahnya pembangkit konvensional termal, semakin besar pula kebutuhan PLN akan batubara dan gas. Akan semakin besar pula potensi konflik PLN dengan perusahaan tambang batubara dan gas dalam negeri sendiri karena harganya akan meningkat dari tahun ke tahun. Jadi, efisiensi dan aplikasi sumber energi murah dari energi terbarukan sangat mutlak dilakukan oleh PLN.
Kedua adalah meningkatkan kepedulian penghematan energi pada semua kelompok pelanggan PLN. Meningkatnya pemakaian alat-alat listrik untuk rumah tangga dan bisnis, harus pula diimbangi dengan pola pemakaian yang bijak. Diharapkan, produsen peralatan listrik terpacu untuk menciptakan produk hemat energi. Pelanggan industri juga harus kreatif menjalan industrinya secara efisien, didukung mesin-mesin produksi yang hemat energi. Inilah salah satu kontribusi nyata Indonesia dalam penurunan emisi karbon yang disepakati di Kopenhagen akhir tahun ini.
Ketiga adalah meninjau kembali kebijakan subsidi untuk semua kelompok pelanggan menjadi beberapa kelompok pelanggan dengan konsekuensi tertentu. Pelanggan rumah tangga berdaya sambung besar, pelanggan industri dan bisnis, bisa dihadapkan dengan dua konsekuensi; yaitu penghapusan subsidi atau dengan kewajiban penambahan daya dari energi terbarukan, misalnya energi surya. Tentu, ini harus dibantu dengan kebijakan pemerintah. Pemanfaatan dan pengembangan industri energi terbarukan, tidak saja menambah daya listrik, tetapi juga berpeluang menambah lapangan kerja.
Mari kita fokus berbuat sebelum semuanya terlambat!
https://koran.tempo.co/read/opini/186644/catatan-untuk-kelistrikan-indonesia